Minggu, 24 Februari 2008

Rencana Privatisasi PLN Konyol

Oleh : Redaksi 22 Feb 2008 - 4:00 am

Mengamankan pasar bebas dari industri listrik itu konyol. Ini adalah angan-angan yang naïf. Tapi anehnya pikiran ini kok diadopsi, seolah semua kata-kata pasar bebas itu dianggap baik. Kalau ini terjadi maka inilah yang disebut kemiskinan struktural. Kita melihat bagaimana kapitalisme ini bekerja dan menyebabkan kemiskinan rakyat. Demikian disampaikan oleh Ismail Yusanto, jubir Hizbut Tahrir Indonesia pada acara diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan, di Jakarta, Senin (18/2). Acara yang dihadiri pembicara Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi) dan Ir Ahmad Daryoko (Ketua Umum Serikat Pekerja PLN) bertema, Pro-Kontra Privatisasi PLN. Acara rutin yang diselenggarakan Forum Umat Islam ini didukung Tabloid Suara Islam dan Kantor Berita Antara.

Menurut Yusanto, dalam kasus PLN ini sangat nyata. “Kalau ini dibiarkan akan melahirkan penjajahan baru melalui penguasaan energi dan Sumber Daya Alam. Dan selangkah lagi kita akan betul-betul dalam genggaman negara Barat. Dan habislah kita karena Barat akan makin mudah mengontrol kita dalam berbagai aspek kehidupan,” ujarnya.

Semakin nyata, neokolonialisme itu bekerja melalui penguasaan aset negara, energi khususnya. Tentu saja ini akan mengancam kemandirian energi. Selanjutnya tentu akan mengancam kemandirian politik.

Coba bayangkan, jelasnya, kalau swasta yang menguasai listrik itu menghentikan pasokannya di Jawa, bila terjadi keteganan atau perang? Maka bubarlah Jawa ini, padahal Indonesia ini ada di Jawa, karena di sini pusat pemerintahan dan lainnya. Kalau PLN kan bisa dijaga karena ia punya kita sendiri. “Karena itu tidak berlebihan kalau Hizbut Tahrir menulis awas PLN dalam bahaya, karena kemandirin energi itu sangat penting bila kita mau berbicara kemandirian politik.”

Yusanto juga menjelaskan, dalam pro kontra privatisasi PLN ini ada tiga hal yang patut diperhatikan, yakni pertama soal manajemen pengelolaan SDA atau energi. Ada pergeseran yang sangat nyata dari pengelolaan state base management menuju corporate base management, yaitu pengelolaan berbasis negara menjadi pengelolaan berbasis perusahaan. Dan sekarang ini semakin menjadi-jadi karena hampir menyentuh komoditas atau bentuk sumber daya alam atau jasa publik.

Privatisasi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Sebab sumber daya alam dan energi itu milik masyarakat. Yusanto menceritakan suatu saat ada seorang sahabat yang minta ladang garam kepada Rasulullah. Tapi kemudian diperingatkan oleh sahabat Rasulullah. Dikatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah telah memberikan sesuatu yang jumlahnya sangat banyak atau sesuatu yang akan terus mengalir. Akhirnya Rasulullah pun menarik kembali pemberian itu.

Ini selaras dengan Penyataan Rasulullah, masyarakat berserikat (memiliki bersama) terhadap air, padang rumput dan energi. “Jadi dalam hal ini mestinya karena masyarakat memiliki secara bersama, maka mereka harus memiliki akses untuk mendapatkan hak miliknya itu,” papar Yusanto.

Tentang tugas pokok dan fungsi negara, seharusnya pemerintah bekerja sebagai penyedia jasa publik, yang merupakan bukti penting kita punya negara. Sekarang tampaknya terjadi pergeseran, yakni negara yang mestinya sebagai penyedia jasa publik cuma menjadi sekadar regulator (pengawas atau pengatur) atau cuma sebagi pelaku intervesi. Tidak boleh ikut bermain. Ini semua tidak lepas dari visi Adam Smith tentang pasar bebas.

Sementara itu Ahmad Daryoko, tidak setuju dengan pernyataan Meneg BUMN, Sofyan Jalil yang mengatakan bahwa masalah privatisasi di PLN itu tidak ada. “Itu patut dipertanyakan sebab dalam UU No 19 tahun 2003 di pasal 14a3 PLN sekarang ini sudah akan memasuki masa strukturisasi. Dan dalam UU tersebut restrukturisasi itu adalah sasaran antara menuju privatisasi,” ujarnya. Daryoko mengatakan tahapannya adalah restrukturisasi, kedua unbudling, profitisasi dan privatisasi.

Ichsanuddin Noorsy mengatakan UU Kelistrikan yg sudah dibatalkan MK dan UU Migas adalah persyaratan bagi paket stand-by loan IMF sebesar $ 43 milyar dan sejumlah pinjaman struktural lainnya yang diberikan oleh Bank Dunia, ADB dan negara-negara kreditor. “IMF memaksa program penyesuaian strutural itu,” ujarnya.

Pengamat ekonomi ini juga mengatakan, sesungguhnya sejak Eropa berkuasa, sebelum perang dunia I dan II pada hakekatnya hampir semua negara dikuasai Eropa sebagai pasar dan sumber daya. Salah satunya adalah Indonesia.

Indonesia sejak soeharto berkuasa sampai SBY, seperti ditulis Jhon Perkins Indonesia adalah sapi perah bagi pertambangan Amerika. “Tapi hampir kebanyakan ekonom, politisi dan pengusaha di Indonesia tidak percaya bahwa Indonesia dijadikan sapi perah oleh pertambangan Amerika. Kenapa? karena mereka tidak tahu,” papar Noorsy.

Sebab lainnya, saat ini, katanya, kiblat ekonomi kita berpijak pada mekanisme pasar. Ekonomi kita berpijak kepada yang tidak gratis. Pasar adalah pengambil keputusan yang paling bijaksana.Kemudian pasar diminta menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran ketimpangan. Ini kacau.

Noorsy mengatakan bahwa pasar tidak menjamin kehidupan kita ke depan. Karena itu ia mengingatkan kepada para ekonom propasar. “Kalau Yahudi-Yahudi itu mengatakan bahwa mekanisme pasar hanya menguntung kapitalis dan memiskinkan kaum miskin, kenapa kita sok-sokan masih bicara soal mekanisme pasar segala-galanya. Kenapa masalah hajat hidup orang masih mau berlakukan dalam mekanisme pasar. Padahal kapitalisme itu tak akan pernah memberikan manfaat pada masyarakat luas,” paparnya. [pd/HTI]

Privatisasi PLN, Asing Ancam Sektor Energi Listrik Indonesia
Privatisasi sektor kelistrikan dengan pecahan (unbundling) baik secara vertikal maupun horizontal PT. PLN akan mengakibatkan beban listrik yang harus dibayar oleh masyarakat semakin besar, selain itu membuka peluang pihak asing asing untuk menguasai sektor kelistrikan di tanah air.

“Program ini pasti akan menaikan harga, sebab listrik selama ini mulai dari pembangkit, kemudian transmisi, distribusi, dan retail melalui satu tangan. Ini akan dipecah-pecah, “jelas Ketua UmumDPP Serikat Pekerja PT. PLN Ahmad Daryoko dalam Acara Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertema “Prokontra Privatisasi PLN”, di Gedung YTKI, Jakarta, Senin(18/2).

Menurutnya, apabila pembangkitan listrik ditangani oleh perusahaan asing, kemudian yang mengurus transmisi oleh perusahaan lain, dan yang melakukan distribusi lain lagi, dikhawatirkan akan terjadi perebutan keuntungan dari pembayaran konsumen.

“Tiap masing-masing bagian itu akan membebankan biaya kepada konsumen, yang dirugikan konsumen, apalagi ketika terjadi beban puncak, bisa seperti Kamerun naik 15-20 kali lipat biayanya. Yang untungkan mereka yang menguasai unit-unit tadi, inikan instalasi milik publik tetapi kenapa dikuasai pribadi-pribadi, “tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Indonesia secara sistemik selama tiga generasi terus dijadikan sapi perahan AS, karena secara ekonomi tidak bisa bebas.

“Indonesia selalu merujuk kepada mekanisme pasar, dan ini sejalan dengan konsensus Washington yang menuliskan bahwa tidak ada barang yang gratis, “tegasnya.

Karena itu, lanjut Ichsan rencana privatisasi PLN yang nantinya akan tergantung pada mekanisme pasar ini, selalu mengukur kekuatan dari segi materi, hal itu hanya akan menguntungkan kelompok kapitalis, dan terus menyengsarakan rakyat.

Di tempat yang sama Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto menegaskan, kebijakan ekonomi pemerintah terhadap sektor kelistrikan ini, kalau dibiarkan akan bertentangan dengan prinsip keadilan, sebab Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Energi ini merupakan milik rakyat.

“Masyarakat harus mempunyai akses yang sama untuk memperolah hak miliknya, dan seharusnya pemerintah hanya mengatur ketersediaannya, “jelasnya

Ia menilai, rencana pemerintah untuk melakukan pemecahan PLN telah mengubah fungsi negara menjalankan pengawasan terhadap SDE, namun tidak lepas dari visi pasar bebas berupa penjajahan baru melalui penguasaan sumber daya energi.

Wacana privatisasi PT. PLN ini bermula pada rapat umum pemegang saham (RUPS) PT PLN pada 8 Januari 2008. Keputusan dalam RUPS itu kali ini sangat istimewa, karena berupa restrukturisasi terhadap PLN berupa pembentukan 5 anak perusahaan distribusi (Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali) serta paling lambat akhir tahun 2008 membentukan satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali. Juga akan dibentuk dua BUMN Pembangkitan bahwa PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali yang terpisah dari PLN.(novel; eramuslim.com; Senin, 18 Peb 08 18:33 WIB)

Tidak ada komentar: