Senin, 21 April 2008

Geliat Dakwah dan Senyum di Russia

22 Apr 08 05:22 WIB

Oleh Ellina Supendy

Rakyat Russia baru 17 tahun terakhir terbebas dari tirani komunis. Mereka baru merasakan kebebasan beragama pasca perestroika & glasnost yang dipelopori Mikail Gorbachev. Sejak itulah kaum muslimin baru mulai mengenal agamanya sendiri. Selama lebih dari 70 tahun komunisme berkuasa, mereka mengenal Islam hanya sebatas nama. Mereka mengaku beragama Islam kebanyakan lantaran keturunan. Oleh karenanya rasa ashobiyah kesukuan masih amat terasa di antara kaum muslimin sendiri.
Kaum muslimin Russia, khususnya di Moskow semakin berkembang secara bertahap. Meskipun tampaknya amat lambat, namun cukup signifikan. Aktivitas ke-Islaman mulai bergaung dari beberapa masjid. Masjid tidak hanya sebagai tempat sholat dan menyalurkan zakat saja, tetapi kini juga melayani kebutuhan sehari-hari kaum muslimin.
Masjid menyediakan toko buku kecil yang menjajakan buku-buku ke-Islaman, souvenir, kaset-kaset, dan brosur-brosur gratis; produkti (toko bahan makanan) yang menjajakan daging-daging halal, serta stalowaya (kantin) yang menyediakan makanan khas Russia. Jauh di utara Moskow, di rayon Otradnoye, terdapat Masjid Yarjam, yang menyelenggarakan kursus bahasa Arab dan pengajian. Lebih jauh lagi di beberapa republik yang mayoritas Islam seperti Baskarkastan, Tatarstan, dan Dagestan aktivitas ke-Islaman seperti daurah (pesantren kilat) untuk anak-anak hingga mahasiswa diadakan untuk mengisi liburan musim panas.
Pemerintah Russia saat ini menyadari realitas bahwa Islam adalah agama nomor dua terbesar di Russia setelah Kristen Ortodoks. Muslim di Russia mencapai kurang lebih 15 persen dari total penduduk dari 148 juta jiwa. Sedangkan yang berada di Moskow mencapai 10 persen dari total 12 juta penduduknya. Sungguh jumlah yang tidak sedikit, dan Insya Allah akan semakin bertambah. Karenanya Pemerintah Vladimir Putin saat itu amat berhati-hati terhadap kaum muslimin.
Pemerintah di satu sisi menyerang Islam radikal dengan propaganda kasus Chechnya, di sisi lain berusaha merangkul kaum muslim moderat seperti orang-orang Tatar dan Asia Tengah di Moskow. Tayangan televisi Russia mengenai Chechnya selalu dikaitkan dengan Islam Radikal yang diidentikan dengan Wahabiyah. Dialog-dialog mengenai Chechnya selalu berujung 'warning' terhadap Islam Radikal. Tema Jihad seakan menjadi barang haram. Wajah-wajah penduduk selatan yang rata-rata berasal dari kaukasus (Chechnya, Ingusetia, Dagestan) selalu menjadi incaran milisia (polisi) untuk diperiksa dokumennya.
Terhadap Islam moderat pemerintah berusaha menunjukkan sikap lunak. Presiden Vladimir Putin mengucapkan selamat hari raya idul fitri dan Idul adha secara resmi kepada kaum muslimin Russia. Ia beserta rombongan juga mengunjungi Ufa, ibukota propinsi Baskiria untuk mengikuti pesta rakyat 'shalawat', yang merupakan tradisi maulid Nabi SAW di sana. Acara keIslaman di televisi baru sebatas siaran pengenalan kultur Islam. Itupun hanya ada setiap Jumat pagi di saluran televisi nasional.
Saat-saat paling mengesankan di Moskow adalah tatkala bertemu saudara-saudara sesama muslim dari berbagai belahan bumi di Masjid Pusat, Prospekt Mira. Perbedaan warna kulit, budaya, bahasa dan mazhab seakan tak berarti dibanding dengan ikatan ukhuwah Islamiyah. Kami saling berkenalan dengan bahasa yang bercampur aduk. Kadang dengan Bahasa Russia, Inggris, Arab, atau bahasa masing-masing. Jika tidak paham satu sama lain, maka senyuman menjadi bahasa penutup yang sangat indah dan kami semua pahami. Senyum benar-benar terasa bermakna.
Perlu diketahui bahwa orang Russia memiliki karakter pelit senyum. Bila berjumpa dengan mereka, tak pernah terlihat senyum tersungging. Entah karena udara dingin sehingga merapatkan bibir-bibir mereka atau memang karakter asli. Akibatnya, jika kita menjumpai sosok mereka dengan senyuman. Maka itu merupakan bonus tersendiri buat kita di tengah cuaca yang selalu di bawah nol derajat. Senyuman di Russia adalah benda mahal yang dapat mencairkan salju yang senantiasa menggigit. Senyuman yang mudah kita dapatkan jika kita berjumpa di wilayah masjid saja. Wilayah yang memang menjadi pusat kitaran senyuman keikhlasan dan ukhuwah yang kuat.

Minggu, 13 April 2008

Aisyah Bhutta Islamkan Orangtua dan 30 Temannya

Aisyah Bhutta Islamkan Orangtua dan 30 Temannya


Sabtu, 12 April 2008

Namanya Aisyah Bhutta. Tapi hatinya tidak “buta”. Setelah mengenal Islam, ia membawa orangtua dan 30 temannya memeluk Islam
Aisyah Bhutta (34), dulu, ia bernama Debbie Rogers. Kini hidup tenteram dan bahagia setelah memeluk Islam. Di apartemennya yang terletak di Cowcaddens, Glasgow, ia melewati hari-hari dengan amalan Islam. Rumahnya pun telah dihiasi dengan nuansa Islam. Di dinding tergantung kaligrafi Al-Quran. Ada juga poster bergambar kota suci Mekkah. Lalu jam yang disetel khusus dengan suara azan yang senantiasa mengingatkanAisyah dan keluarganya tiap masuk waktu shalat. Wajahnya kini terbungkus rapi oleh jilbab yang makin menunjukkan kesalehannya. Dia sangat gigih dalam berdakwah. Tidak saja untuk keluarganya dan kerabat bahkan tetangga-tetangga juga tak luput dari dakwahnya. Alhasil, dia dapat mengislamkan orangtua, kerabat dan 30 temannya. Berikut kisahnya seperti dilansir dari Islamweb.com.
***
Bagi seorang gadis Kristen taat seperti Debbie Rogers, masuk Islam lalu menikah dengan pria Muslim, adalah suatu hal yang luar biasa. Tak hanya itu, ia juga telah mengislamkan kedua orantuanya, beberapa orang saudaranya. Dan yang menakjubkan ia telah mengajak sedikitnya 30 orang teman dan tetangganya masuk Islam!
Debbie Rogers dulunya berasal dari keluarga Kristen yang taat. Mereka aktif dalam aneka kegiatan gereja. Kala remaja lainnya asyik dengan idola mereka, misalnya mengoleksi poster penyanyi kesayangan mereka, katakanlah seperti penyanyi terkenal George Michael atau asyik dengan hura-hura sepanjang malam. Maka Debbie Rogers justru sebaliknya. Di dinding kamarnya penuh dengan poster Yesus. Musiknya adalah musik bernuansa rohani, bernada puji-pujian bagi Yesus. Itulah aktifitasnya sebelum kenal Islam.
Tapi akhirnya dia “lelah” sendiri. Ia merasa tak mendapatkan apa-apa dari apa yang dipelajarinya. Bahkan banyak sekali daftar pertanyaan tentang paham Kristen yang tak berjawab. Debbie Rogers kemudian berkenalan dengan seorang pria keturunan Pakistan, Muhammad Bhutta namanya. Pria yang mengenalkan Islam padanya dan dikemudian hari menjadi suaminya. Tapi jangan dikira ia masuk Islam gara-gara jatuh cinta dengan Muhammad.
Terkesan dengan shalat
“Waktu itu saya masih kecil. Baru berumur 10 tahun. Kebetulan keluarga kami punya toko dan Muhammad adalah salah satu pelanggan tetapnya. Saya sering mengintip Muhammad kala shalat di belakang toko kami.
“Dari wajahnya saya melihat pancaran kedamaian. Tampaknya dia sangat ikhlas dan menikmati shalatnya. Kala saya tanya, dia bilang dia orangIslam. Apa itu Islam?” tanya Aisyah kecil heran.
Berselang beberapa lama, dengan bantuan Muhammad, Aisyah cilik mulai mendalami Islam lebih jauh. Sekitar lima tahunan ia pelajari kitab suci tersebut dan menariknya dia telah mampu membaca seluruh isi Al-Quran dengan bahasa Arab.
”Semua saya baca. Sungguh sangat menarik sekali. Serasa menancap di hati,” kenangnya.
Alhasil, di usianya yang ke-16 Debbie Rogers pun mengucap dua kalimah syahadat. ”Ketika saya mengucapkan kalimah itu, serasa seperti baru melepaskan beban berat yang lepas dari pundak saya. Luar biasa. Saya merasa seperti seorang bayi yang baru dilahirkan,” ujarnya. Ia lantas mengganti namanya, Debbie Rogers menjadi Aisyah.
Meskipun Aisyah sudah memeluk Islam, namun bakal calon mertuanya --ayah kandung Muhammad-- tidak setuju putranya menikah dengan wanita Barat. Orangtua Muhammad masih berpikiran tradisional yang menganggap perempuan Barat sulit menerima Islam. Dan, menurut mereka, malah nanti Muhammad yang dibawa ke jalan yang tidak benar. Mereka takut nanti nama keluarga menjadi jelek di mata masyarakat Islam. Namun tekad Muhammad sudah bulat. Iman Aisyah harus diselamatkan.
Muhammad melaksanakan pernikahan di mesjid setempat. Bahkan pakaian nikah yang dikenakan Aisyah dijahit sendiri oleh ibu kandung Muhammad dan saudaranya yang menyelinap secara sembunyi-sembunyi. Sebab bapaknya menolak menghadiri acara sakral dalam hidup anaknya itu. Halnya Michael dan Marjory Rogers, orangtua Aisyah, turut hadir di pernikahan anaknya. Mereka mengaku terkesan dengan baju nikah Aisyah.
Hubungan hambar dengan bapaknya akhirnya mencair. Ceritanya, nenek Muhammad datang khusus dari Pakistan untuk menjenguk cucunya yang baru menikah. Bagi neneknya, pernikahan dengan perempuan Barat juga masih tabu. Namun, semuanya berubah tatkala nenek Muhammad berjumpa dengan Aisyah. Dia sangat takjub dengan perempuan Skotlandia itu yang sudah mampu membaca Al-Quran dan menariknya lagi Aisyah bisa bercakap dalam bahasa Punjab. Perlahan Aisyah telah jadi bagian dari keluarga besar Muhammad.
Islamkan orangtua
Enam tahun kemudian, Aisyah mulai menjalankan misi sulit, yakni mengislamkan kedua orangtua dan anggota keluarganya. Aisyah dan suaminya menceritakan apa itu Islam. Aisyah sendiri kini telah berubah banyak dan hal itu tentu bagian dari dakwah kepada kedua orangtuanya. Misalnya kini dia jadi anak yang sopan, tidak suka membantah kata-kata orangtuanya seperti dulu.
Kesan perubahan sikap dan tingkah laku sang anak rupanya merasuk ke hati sang ibu. Tak lama, ibunya memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sumayyah.
“Bahkan ibu kini sudah mengenakan jilbab. Ibu shalat tepat waktu. Kini tak ada yang menarik baginya kecuali senantiasa berhubungan dengan Allah,” tuturAisyah bangga.
Akan halnya dengan ayah Aisyah, ternyata sangat sulit untuk diajak. Ibu Aisyah turut membantu mengenalkan sang ayah kepada Islam. “Ibu dan saya sering berdiskusi tentang Islam. Nah satu hari kami duduk-duduk di dapur. Lalu ayah berkata; Apa yang kalimat yang kalian ucapkan ketika masuk Islam? Spontan saya dan ibu melompat ke atasnya,” cerita Aisyah sumringah. Ayah pun memeluk Islam.
Lalu, tiga tahun kemudian, abang kandung Aisyah juga mengucap dua kalimah syahadah. Uniknya sang abang memeluk Islam melalui telepon, karena ia tinggal agak jauh. Aisyah makin bersemangat tatkala melihat istri abangnya, diikuti oleh anak-anaknya juga memeluk Islam. Bahkan keponakan istri si abang juga masuk Islam. Bukan main bahagianya Aisyah.
Membuka kelas Islam
“Saya belum mau berhenti berdakwah. Keluarga sudah, lalu saya beralih kepada para tetangga di Cowcaddens. Kawasan ini perumahannya sangat padat, bahkan bisa dikatakan kumuh. Tiap hari Senin selama 13 tahun saya membuka kelas khusus tentangIslam bagi wanita-wanita Skotlandia yang ada di situ,” kisah Aisyah mengenang. Sejauh ini dia sudah berhasil mengislamkan tetangga sekitar 30 orang.
“Latar belakang mereka macam-macam. Trudy misalnya, dia seorang dosen di Universitas Glasgow. Trudy adalah seorang Katolik yang awalnya mengikuti kelas saya untuk mengumpulkan data penelitian yang sedang dikerjakannya. Namun setelah berjalan enam tahun Trudy memutuskan memelukIslam. Menurutnya Kristen sulit diterima akal dan membingungkan,” sebut Aisyah. Trudy sendiri mengaku masuk Islam karena terkesan dengan kuliah Aisyah yang mudah diterima dan masuk akal.
Disamping siswa non-Muslim, kelas binaan Aisyah juga dipenuhi oleh gadis-gadis Islam yang telah terkena polusi pemikiran Barat. Menurut Aisyah, justru mereka yang patut diselamatkan. Aisyah pun fleksibel dalam kuliahnya. Dia menerima secara terbuka setiap pertanyaan dan mengajak peserta berdiskusi.
Suami Aisyah, Muhammad Bhutta (43), tampaknya tidak begitu tertarik untuk berdakwah di kalangan warga asli Skotlandia. Dia konsentrasi pada usaha restorannya. Fokus suami Aisyah adalah keluarga dan usaha. Suami nya yang bertugas memberikan ajaran Islam kepada kelima anaknya. Tumbuh dengan akhlak dan nuansa Islam, itulah obsesi Aisyah dan suaminya akan anak-anak mereka. Bahkan Safia, anaknya tertua yang berusia 14 tahun menjadi sebab masuk Islamnya seorang wanita tua.
Ceritanya, suatu hari Safia melihat seorang nenek di jalan, dia tergerak untuk membantu si nenek dengan membawakan belanjaannya. Sang nenek rupanya terkesan. Tak berapa lama si nenek pun ikut kelas Aisyah Bhutta, dan beberapa waktu kemudian akhirnya bersyahadat.
“Muhammad orangnya romatis,” ujar Aisyah tersipu. “Saya seakan telah mengenalnya selama berabad-abad. Jadi tak mungkin terpisahkan. Dia bukan hanya kawan dalam hidup di dunia ini, tapi yang lebih penting lagi semoga juga kawan di surga nanti dan selama-lamanya. Itulah hal terindah,” tutup Aisyah. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Selasa, 08 April 2008

INDONESIA, AS, DAN NEGARA GAGAL

INDONESIA, AS, DAN NEGARA GAGAL
oleh: Hidayatullah Muttaqin* Pembaca yang terhormat, dalam satu bulan terakhir muncul berbagai ulasan tentang negara gagal (failed state), antara lain yang ditulis oleh Prof. Budi Winarno di Harian Kedaulatan Rakyat (Indonesia Adalah Negara yang Gagal), Meuthia Ganie-Rochman di Harian Kompas (Negara Gagal?), dan Budiarto Shambazy juga di Harian Kompas (Si Gembala Sapi).
Munculnya tulisan-tulisan tersebut didasari oleh suatu keadaan, di mana kemiskinan, kelaparan dan kurang gizi, kelangkaan dan lonjakan harga-harga berbagai kebutuhan pokok, pendidikan, keamanan dan kehidupan sosial masyarakat, semakin buruk dan kian tidak menentu. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah mencegah dan mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, dan ketidakpedulian terhadap masyarakat. Di tengah kehidupan masyarakat yang serba sulit, pemerintah cenderung melahirkan kebijakan-kebijakan pro pasar sehingga beban hidup masyarakat bertambah berat.Berkaitan dengan ukuran dan peringkat kegagalan negara-negara di dunia, Foreign Policy yang berkedudukan di Washington AS, menerbitkan The Failed States Index 2007 yang dapat diakses di situs Foreign Policy dan website The Fund for Peace. Sebagai data, The Failed States Index 2007 ini cukup berguna untuk memberikan gambaran peringkat kegagalan negara-negara di dunia.Namun Foreign Policy bukanlah lembaga independen yang bersikap fair terhadap negara-negara di dunia, khususnya terhadap peradaban selain Barat. Sebagai contoh, publikasi majalah terbaru mereka mengangkat topik utama A World without Islam. Sebuah topik yang sangat berbau Islamophobia dan tendensi yang sangat tidak berdasarkan fakta. Ahmad Syafii Maarif dalam Perspektif, Gatra Nomor 18 Beredar Kamis, 13 Maret 2008HYPERLINK "http://jurnal-ekonomi.org/2008/04/07/dunia-tanpa-islamdunia-tanpa-islam/" menuliskan:“Judul semacam ini sungguh menyakitkan. Islam seperti akan dihalau dari muka bumi karena dianggap sebagai biang kekacauan global.”
Atas dasar inilah, data peringkat negara-negara gagal versi Foreign Policy ini harus dibaca secara kritis, khususnya metodologi atau ukuran-ukuran yang digunakan di dalam pengolahan The Failed States Index 2007.
Sebagai contoh, Irak ditempatkan sebagai negara paling gagal nomor dua setelah Sudan. Irak memang gambaran sebuah negara yang gagal, di mana setiap hari ratusan nyawa melayang dan tidak ada jaminan keamanan bagi warganya. Kemiskinan, kelaparan, dan kehancuran infrastruktur, adalah masalah nyata yang dihadapi suadara-saudara kita di sana.
Hanya saja melepaskan Irak dari penyebab kehancuran Irak, yakni AS, adalah sebuah ketidakafairan. Sedangkan AS sendiri adalah sebuah negara yang menjadi sumber kekacauan ekonomi dunia di samping kekacauan-kekacauan lainnya. Dari negara inilah sebagian besar para Kapitalis dunia merampok sumber daya alam di negara-negara dunia ketiga, kemudian menjadikannya sebagai pasar bagi produk-produk mereka melalui mekanisme pasar bebas yang sebenarnya sangat diskriminatif.Di sisi lain perekonomian AS merupakan perekonomian yang boros, lebih besar pasak daripada tiang. Perekonomian AS adalah perekonomian utang, di mana hidupnya bergantung pada utang. Hanya bedanya dengan negara-negara lainnya, utang-utang AS tidak dilakukan dengan cara meminjam kepada negara atau lembaga keuangan internasional. AS berutang melalui sistem perbankannya, sistem pasar modalnya, dan tentunya utang gratis dari pencetakan mata uang dollar. Sebagian besar utang-utang AS tersebut dibiayai oleh negara-negara eksportir yag ingin meraup devisa sebanyak-banyaknya dari pasar AS (Sofyan Sapri Harahap, Ekonomi Islam: Saving atau Spending?, Republika 7/4/2003).AS merupakan contoh perekonomian yang paling buruk yang sedang menuju kematian. Rasio utang pasar kredit AS terhadap PDB mencapai 330%, rasio utang rumah tangga terhadap PDB 100% di mana nilai utang kartu kredit rumah tangga sudah mencapai 790 miliar dollar AS. Berkaitan dengan krisis finansial yang tengah melanda AS, muncul anggapan sistem keuangan di negeri Paman Sam tersebut laksana ZOMBIE, secara teknis sudah mati tapi masih beroperasi (Kompas 28/3/2008).
Sebagai sebuah negara besar, AS gagal memberi contoh yang baik bagi negara-negara di dunia. AS justru menjerumuskan rakyatnya dan negara-negara lain ke dalam jurang kehancuran yang berdarah-darah. Ironinya, keburukan AS yang sangat nampak tidak dapat membuka mata politisi dan pemerintah Indonesia.
Paska krisis ekonomi 1998, pemerintah Indonesia dengan bangganya memperkenalkan perekonomian neoliberal. Dari periode reformasi ini lahirlah berbagai produk hukum dan perundang-undangan, serta kebijakan neoliberal yang sangat menyengsarakan rakyat. Kini rakyat menghadapi berbagai himpitan kehidupan sebagai akibat kebijakan neoliberal pemerintah.
Jika sebelum krisis utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 600 trilyun sudah sangat memberatkan, laksana kerbau yang dicocok hidungnya, pemerintah manut saja kepada IMF ketika diminta untuk mengambil alih dan menanggulangi utang-utang konglomerat sehingga utang pemerintah membengkak menjadi Rp 1250 trilyun. Kini utang negara telah merangkak naik di atas Rp 1400 trilyun sebagai akibat kelatahan pemerintah menerbitkan SUN (obligasi negara) demi mengejar kepercayaan pasar.
Ketika krisis BBM, listrik dan pangan, krisis finansial, dan kesempitan ruang gerak fiskal melanda negeri ini, pemerintah selalu mengambil kebijakan atas dasar kepentingan pasar. Dalam konteks ini, pemerintah selalu menempatkan kepentingan investor yang pertama kali dilayani, setelah itu baru kepentingan masyarakat. Meminjam istilah Revrison Baswir, investor first, people second. Pertemuan Presiden SBY dengan para buruh dan diplomat Indonesia baru-baru ini semakin menjelaskan di mana posisi pemerintah. Dalam dua pertemuan tersebut, presiden mengungkapkan betapa petingnya mengajak para investor masuk ke Indonesia.
Kebijakan pemeritah yang bersandar pada ekonomi neoliberal yag sudah pasti merugikan masyarakat, menunjukkan pemeritah tidak mampu mengurus kepentingan hidup rakyatnya. Sikap membatu pemerintah pada ekonomi neoliberal menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat.
Jika kebutuhan hidup rakyat terancam oleh ketidakmampuan dan ketidakpedulian pemerintah, maka ini merupakan sebuah fakta bahwa negara Indonesia sedang berada dalam kegagalan. Jika negara kita mengalami kegagalan yang bertubi-tubi, masih relakah negara kita diatur oleh Kapitalisme yang sarat nilai-nilai sekuler ? Jika bukan, tidak inginkah negara ini diatur berdasarkan hukum-hukum Sang Khaliq yang telah menciptakan kita (manusia), alam semesta, dan segala isinya ? Tidak inginkah merasakan hidup berdasarkan syariah dalam naungan sistem khilafah ? Wallahu a'lam []
*Hidayatullah Muttaqin, dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan pengelola website www.jurnal-ekonomi.org