Senin, 25 Februari 2008

Karakter Kaum Mukmin

Tafsir February 5th, 2008
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS an-Nur [24]: 51-52)
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Innamâ kâna qawl al-Mu’minîn idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih liyahkuma baynahum (Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin itu, jika mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi [mengadili] di antara mereka). Mukmin yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang benar keimanannya (ash-shâdiqîn fî îmânihim).1
Kata Allah dan Rasul-Nya dalam konteks ayat ini merujuk pada hukum-Nya. Karena itu, sebagaimana dinyatakan ath-Thabari, frasa idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih ditafsirkan dengan idzâ du‘û ilâ hukm Allâh wa ilâ hukm Rasûlih (jika mereka dipanggil pada hukum Allah dan pada hukum Rasul-Nya).2 Bisa juga, yang dimaksudkan adalah Kitabullah dan Rasul-Nya,3 atau Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.4
Dhamîr (kata ganti) pada kata liyahkuma kembali kepada Rasul saw. Sebab, Beliaulah yang secara langsung menetapkan keputusan hukum, kendati pada hakikatnya hukum yang diterapkan adalah milik Allah.
Ketika kaum Mukmin itu dipanggil untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum Allah dan hukum Rasul-nya, mereka amat patuh. Kepatuhan mereka digambarkan dalam firman Allah Swt.: an yaqûlû sami’nâ wa atha’nâ (Mereka mengucapkan, “Kami mendengar dan kami patuh”). Menurut Muqatil dan Ibnu ‘Abbas, frasa tersebut bermakna, “Kami mendengar ucapan Nabi saw. dan mentaati perintahnya,”—meskipun dalam perkara yang tidak mereka sukai dan membahayakan mereka.5
Kendati berbentuk khabar, yang dimaksud ayat ini bukan sekadar berita, namun memberikan pendidikan adab syar‘i terhadap kaum Mukmin ketika ada seruan (untuk memutuskan dengan syariah) dari salah seorang yang bersengketa kepada yang lain; bahwa demikianlah seharusnya sikap seorang Mukmin ketika mendengar seruan tersebut. Mereka menerimanya dengan taat dan tunduk.6 Fakhruddin ar- Razi dan Ibnu ‘Athiyyah menegaskan, wajib bagi kaum Mukmin mengatakan demikian ketika mereka diseru pada hukum Allah dan Rasul-Nya.7
Kemudian Allah Swt. berfirman: wa ulâika hum al-mufli­hûn (Mereka itulah orang-orang yang beruntung). Kata ulâika merujuk kepada kaum Mukmin yang digambarkan dalam kalimat sebelumnya. Karena kepatuhan dan ketaatan mereka pada syariah, mereka dikabarkan mendapatkan keberuntungan. As-Sa’di menjelaskan, dibatasinya al-falâh untuk mereka karena makna al-falâh adalah memperoleh perkara yang dituntut dan terhindar dari perkara yang tidak disukai. Tidak ada yang mendapatkan keberuntungan (al-falâh) kecuali orang yang berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, menaati Allah dan Rasul-Nya.8
Selanjutnya Allah Swt. menegaskan bahwa kabar gembira itu berlaku umum bagi siapa saja yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman: Waman yuthi’illâh wa Rasûlahu (Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Artinya, mereka taat pada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, menerima hukum-hukum-Nya, baik menguntungkan maupun merugikan mereka.9
Di samping itu juga: wayaskhsyallâh wayattaqhu (takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya). Menurut al-Asfahani, kata khasyah berarti khawf (takut) yang disertai dengan ta‘zhîm (pengagungan). Kebanyakan sikap tersebut didasarkan pada pengetahuan terhadap perkara atau pihak yang ditakuti itu. Oleh karena itu, khasyah kepada Allah Swt. dikhususkan bagi ulama sebagaimana disebutkan dalam QS Fathir [35]: 28.10 Al-Jazairi menjelaskan bahwa takut kepada Allah Swt. adalah takut yang disertai pengetahuan, lalu meninggalkan larangan dan menahan diri dari apa yang disenangi.11
Adapun at-taqwâ berasal dari kata wiqâyah. Makna at-taqwâ secara bahasa adalah menjadikan diri terlindung dari segala yang menakutkan. Karena itu, perasaan takut kadangkala juga disebutkan dengan kata takwa. Kemudian kata takwa digunakan dalam istilah syar‘i dengan makna yang tidak terlalu jauh berbeda. Takwa diartikan sebagai penjagaan diri dari segala perbuatan dosa, dengan jalan meninggalkan larangan; lebih sempurna lagi dengan meninggalkan sebagian perkara mubah.12
Menurut kebanyakan mufassir, antara yakhsya dan yattaqi terdapat kesamaan, yakni sama-sama takut terhadap perbuatan dosa. Bedanya, jika kata yakhsya menggambarkan sikap takut terhadap dosa-dosa yang telah lalu maka kata yattaqi takut terhadap dosa-dosa pada masa yang akan datang.13
Terhadap mereka yang memiliki karakter demikian Allah Swt. berfirman: wa ulâika hum al-fâizûn (Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan). Hal itu disebabkan mereka mendapatkan ridha Allah pada Hari Kiamat dan aman dari azab-Nya.14
Karakter Mukmin: Mendengar dan Taat
Dalam al-Quran cukup banyak ayat yang menggambarkan sifat-sifat kaum Mukmin. Ayat ini termasuk salah di antaranya. Oleh ayat ini, karakter kaum Mukmin digambarkan bersikap sami’nâ wa atha’nâ (kami mendengar dan kami taat) terhadap seruan dan segala keputusan syariah. Mendengar dan taat adalah dua sifat yang melekat secara bersama-sama pada diri kaum Mukmin dalam merespon syariah-Nya.
Mendengar merupakan salah satu metode paling penting untuk memahami sebuah seruan. Jika tidak mendengar dan menyimak sebuah seruan, mustahil seseorang bisa memahami seruan itu. Tidak aneh jika kata as-sam‘u (mendengar) kadang juga digunakan untuk makna memahami. Menurut al-Asfahani, inilah makna yang terkandung dalam ayat ini: sami‘nâ berarti fahimnâ. 15
Berikutnya, pemahaman atas sebuah seruan menjadi kunci utama untuk melaksanakan sebuah seruan, termasuk dalam melaksanakan seruan Allah Swt. Al-Quran juga menegaskan bahwa hanya orang yang mendengarkan seruan Allah Swt. saja yang mematuhi seruan-Nya (QS al-An‘am [6]: 36). Perintah untuk mendengarkan seruan Allah Swt. disampaikan dalam banyak ayat, seperti QS al-Maidah [5]: 108 dan at-Taghabun [64]: 16. Ketika al-Quran dibacakan, diperintahkan agar mendengarkan dengan baik dan memperhatikannya dengan tenang (QS al-A‘raf [7]: 204). Tidak aneh jika kesediaan mendengar dan memahami seruan syariah itu menjadi salah satu karakter utama kaum Mukmin. Mereka berupaya sungguh-sungguh untuk mendengar dan menyimak setiap seruan syariah hingga memperoleh kesimpulan yang benar.
Karakter ini bertolak belakang dengan karakter kaum kafir. Mereka memang memiliki akal, mata, dan telinga, tetapi mereka tidak mau menggunakan semua perangkat itu untuk memahami ayat-ayat Allah Swt. (lihat QS al-A‘raf [7]: 179). Mereka sangat enggan atau bahkan menolak untuk mendengarkan seruan Allah Swt. dan Rasul-Nya (QS Fushilat [41]: 4). Terhadap seruan al-Quran, di telinga mereka seolah ada sumbatan yang membuat mereka tidak bisa mendengarnya (QS al-Kahfi [18]: 57).
Realitas itu juga disebutkan dalam QS al-An‘am [6]: 25; Fushilat [41]: 5. Ketika disebutkan asma Allah Swt., mereka juga segera berpaling ke belakang disebabkan oleh kebencian (lihat: QS al-Isra’ [17]: 46) atau kesombongan mereka (lihat: QS Luqman [31]: 7). Karena bersikap demikian, mereka pun disebut sebagai orang tuli, bisu, dan buta (lihat: QS al-Baqarah [2]: 18). Bahkan mereka diserupakan sebagai mayat yang tidak bisa mendengar (lihat: QS ar-Rum [30]: 52) atau binatang ternak (QS al-Furqan [25]: 44). Tidak hanya menolak untuk mendengar, mereka juga melarang orang lain ikut mendengarkan al-Quran (lihat: QS al-An‘am [6]: 26). Pendengaran mereka memang masih berfungsi, tetapi tidak digunakan untuk mendengarkan seruan syariah.
Tidak sebatas mendengarkan seruan syariah, karakter Mukmin juga bersedia untuk mentaatinya. Mereka menaati dan mengikuti semua ketetapan syariah tanpa menimbang dengan akal atau hawa nafsunya, apakah ketetapan syariah itu menguntungkan atau merugikan mereka; menyenangkan atau menyusahkan mereka. Mereka siap menerima dengan lapang dada apa pun keputusan syariah.
Sikap itu muncul karena keimanan meniscayakan ketaatan pada syariah. Siapa pun yang mengaku beriman maka keimanannya harus diwujudkan dalam bentuk amal salih, yakni amal yang sejalan dengan syariah dan dilandasi dengan niat ikhlas mencari keridhaan-Nya. Al-Quran dan as-Sunnah amat banyak menyebutkan iman dan amal salih secara beriringan dan mengaitkan amal perbuatan dengan keimanan, seperti QS al-Baqarah [2]: 82, 279, al-Bayyinah [98]: 7, at-Tin [95]: 6, al-Ashr [103]: 3, dan masih banyak lagi. Allah Swt. juga menegasikan pengakuan orang yang mengaku beriman hingga mereka berhukum kepada Rasulullah saw., hatinya tidak merasa berat, dan menerimanya dengan penuh (lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65).
Walhasil, ‘sami’nâ wa atha’nâ’ memang benar-benar merupakan karakter khas Mukmin yang membedakannya dengan kaum kafir dan munafik. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:
1 Al- Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 3 (tt: Nahr al-Khair, tt), 582. Ungkapan senada juga dikemukakan as-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 3 (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt), 382; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 18 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), 276.
2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 341. Lihat juga Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 191; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 3, 382; al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 18, 270.
3 Al-Baghawi, Ma‘âlim at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 299.
4 Al-Qinuji, Fath al-Bayân,vol. 9 (Qatar: Idarah Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 251; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 400.
5 Al-Wahidi, an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 46.
6 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 46. Penjelasan yang sama juga dikemukakan ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 341; al-Qinuji, Fath al-Bayân,vol. 9 (Qathar: Idarah Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 251; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 2, 129; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 299; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl,vol. 3, 302
7 al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 24 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 20; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 4, 191
8 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 3, 382.
9 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9, 341.
10 As-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 149. as-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 3, 382 juga menyatakan bahwa khasyah adalah sikap takut yang disertai dengan pengetahuan.
11 Al- Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 3, 382.
12 al-Asfahani, Mu‘jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân, 568.
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 372. Lihat juga ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 24, 20; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 170; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 389; al-Wahidi, al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3, 325; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 97; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 299; al-Biqa’i, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 273.
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 9, 241.
15 Sebagaimana dinyatakan al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân, 568.

Minggu, 24 Februari 2008

Kerusakan Adagium "Power to Money, Money to Power"

Thursday, 21 February 2008
(Analisis Kasus Perampokan Kekayaan Negara dalam Perspektif Islam)
Oleh Ufayroh al-Khonsa

Syabab.Com - Hingga saat ini perampokkan kekayaan Negara terus berlangsung. Mulai dari kebijakan yang memberatkan rakyat hingga privatisasi, proyek liberalisasi hingga privatisasi sumber kekayaan negeri ini terus dilakukan. Bagaiamana analisis terhadap kasus perampokkan Negara dalam persepektif Islam ini. Tulisan ini menjelaskan akan mengupas tuntas tentang persoalan ini. [Pengantar Editor]
Muqaddimah

Saat tulisan ini dibuat, 11 Pebruari 2008, saya masih terus mencermati isu penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tepatnya di Metro TV dalam Economic Challenge, diskusi seputar domain itu terus menghangat, mengingat besok harinya, 12 Pebruari 2008, interpelasi atas kasus BLBI ini akan dilakukan oleh anggota dewan. Dua hari berselang, tepatnya 13 Pebruari 2008, Metro TV kembali mengangkat isu itu dalam Save Our Nation dengan tajuk “Sandiwara Politik Interpelasi BLBI”. Sebenarnya, kasus penyelewan dana BLBI ini adalah contoh kecil dari realitas buruknya tata kelola ekonomi Indonesia yang mengakibatkan hilangnya kekayaan negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Ambil saja sebagai contoh, implementasi undang-undang (UU) penanaman modal asing yang berujung pada eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia, dan regulasi privatisasi yang semakin menjadi-jadi. Akibatnya, tentu saja tidak sederhana. Rakyat yang seharusnya menikmati kekayaan negara, akhirnya menjadi pihak yang semakin terpuruk dalam kesedihan. Di sisi lain, kekayaan negara yang dimiliki Indonesia tidak perlu diragukan lagi dari sisi melimpahnya aset SDA.[2] Alhasil, perbincangan untuk menelusur kemana larinya uang negara yang tidak sedikit itu, menjadi urgen. Lebih jauh lagi, kita patut bertanya, siapa sesungguhnya yang menikmati kekayaan negara –yang merupakan hak rakyat- itu? Dan bagaimana aksiologi Islam dalam menyikapi itu semua?

Kekayaan yang Hilang

Merampok uang negara/rakyat bukan perkara aneh di Indonesia. Perampokan itu sudah lama terjadi di negeri ini, baik dilakukan oleh oknum bangsa sendiri maupun pihak asing. Menariknya, perampokan yang sangat besar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia justru terjadi pada era reformasi. Padahal, era ini merupakan era yang dijadikan momentum perubahan dan pemberantasan korupsi oleh mahasiswa dan masyarakat. Persoalannya justru berbalik, yakni menjadi ”legalisasi” perampokan uang negara.

Jika kita mencermati apa yang terjadi di semester pertama tahun ini dan beberapa tahun kebelakang, setidaknya ada tiga isu utama yang berperan penting dalam lenyapnya uang negara yang hakikatnya adalah uang rakyat itu. Tiga isu kontroversial itu adalah kasus penyelewengan dana BLBI, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan eksploitasi SDA yang kompatibel dengan dibukanya regulasi investasi asing di sektor publik yang krusial.

Pertama, kasus BLBI. Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun.[3] Kasus tersebut sampai akhir 2007 masih menyisakan 16 kasus yang belum selesai.

Menariknya, sebagian dari obligor dianggap telah bersikap kooperatif untuk melunasi utangnya dan telah memperoleh Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Surat Keterangan Lunas (SKL). Padahal, penjualan saham bank yang di-take over oleh pemerintah kepada pihak asing itu sangat merugikan pemerintah. Sebagai contoh, penjualan saham BCA kepada pihak asing. Dalam kondisi bank saat ini, harganya hanya Rp 10 trilun padahal beberapa tahun kemudian sudah lebih dari 10 kali lipatnya.[4] Belum lagi kalau kita bicara obligor nakal yang dinilai tidak kooperatif, tentu lebih kompleks lagi.

Dengan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 24, 26, dan 27 yang diterbitkan pada akhir Januari 1998, menjadi landasan hukum penjaminan pemerintah atas segala kewajiban pembayaran bank umum dan program penyehatan perbankan nasional.[5]

Konglomerat Penerima BLBI
Nama
Jumlah Dana BLBI
(Rp triliun)
Syamsul Nursalim (BDNI)
Soedono Salim (BCA)
Usman Admajaya (Bank Danamon)
Bob Hasan (BUN)
Hendra Rahardja (BHS)
37,040
26,596
23.050
12,068
3,866

Berdasarkan landasan hukum ini, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 144,536 triliun yang dikucurkan kepada jaringan perbankan nasional. Menurut analisis Dicky Iskandardinata, dana BLBI yang dikucurkan pada bank swasta berbalik menjadi sumber kehancuran nilai rupiah. Terjadinya kebocoran Rp 51 triliun atau US$ 13 miliar dana BLBI diindikasikan digunakan oleh kelompok tertentu penerima BLBI untuk mengambil untung di pasar uang.[6] Berdasarkan hasil audit BPK atas penyaluran dana BLBI sebesar Rp 144,536 triliun per 29 Januari 1999, potensi kerugian negara mencapai Rp 138,442 triliun.[7] Total dana BLBI yang dikucurkan BI mencapai Rp 218,31 triliun.[8]

Setelah utang-utang konglomerat, baik dalam bentuk kredit macet maupun pinjaman luar negeri diambil alih BI melalui dana BLBI, pemerintah melaksanakan program penyehatan perbankan nasional di bawah pengawasan IMF. Jumlah dana yang digelontorkan pemerintah dalam bentuk obligasi rekap (OR) mencapai Rp 427,46 triliun. OR memang bukan dana tunai, tetapi bank nasional yang mendapatkan obligasi rekap dari pemerintah memiliki hak tagih pada saat jatuh tempo. Seluruh hak tagih bank pemegang obligasi rekap dibebankan kepada rakyat melalui APBN.

Bank Penerima Obligasi Rekap

Nama Bank
Nilai OR
(Rp Triliun)
Penerimaan Bunga OR
2002 (Rp Triliun)
Bank Mandiri
Bank BNI 46
BCA
BRI
BII
Bank Danamon
BTN
Bank Permata
Bank Niaga
Bank Lippo
155,50
54,71
53,72
28,59
23,65
20,12
14,32
11,69
6,75
5,69
15,16
5,33
5,24
2,79
2,31
1,96
1,40
1,14
0,66
0,55

Jumlah nominal BLBI, program penjaminan, dan OR yang ditanggung pemerintah mencapai Rp 655,75 triliun. Namun, jumlah utang yang dibayar pemerintah kepada pemilik OR terus bertambah karena beban bunga OR cukup tinggi. Pada tahun 2002 jumlah cicilan bunga OR yang harus dibayar pemerintah kepada bank-bank pemegang OR mencapai Rp 88,5 triliun.[9] Bank-bank penerima OR juga diperbolehkan menambah permodalan dengan menjual OR yang mereka pegang di pasar sekunder.

Sudah bisa kita tebak, bahwa asinglah yang diuntungkan. Pemerintah atas desakan IMF menjual beberapa bank kepada swasta dan asing. Bank pertama yang didivestasi adalah BCA. BCA dijual pemerintah kepada konsursium Faralon Capital dengan harga obral Rp 5,3 triliun. Masuknya IMF ke Indonesia menjadi sumber malapetaka negeri ini. Melalui LoI (letter of intent) yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 15 Januari 1997, Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus mendapatkan komitmen pemerintah untuk mengambil alih seluruh utang konglomerat baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kedua, Privatisasi BUMN. Privatisasi dan divestasi BUMN semakin menggila di tahun 2007 dan awal 2008 ini. Logika pemerintah terkait dengan keputusan privatisasi semakin telanjang namun lebih meyakinkan karena mendapat legitimasi yuridis dan ekonomi. Yang saya maksud legitimasi yuridis adalah adanya regulasi terkait dengan hal ini. Adapun legitimasi ekonomi maksudnya adalah semua kebijakan tersebut didasarkan pada strategic decision seperti bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang perusahaan BUMN. Privatisasi juga diharapkan dapat meningkatkan good corporate governance (GCG). Dalam kerangka makro, privatisasi berorientasi pada kepentingan fiskal, yaitu untuk menambah sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah, perbaikan iklim investasi, dan pengembangan pasar modal. Saya memiliki dugaan bahwa legitimasi ini sengaja di setup, setelah sebelumnya legitimasi politik terasa terlalu sarkasme.

Pada program tahunan privatisasi perusahaan 2007 melalui Kep-03/M. Ekon/01/ 2007 31 Januari 2007 disetujui privatisasi akan dilakukan pada sembilan BUMN, enam perusahaan kepemilikan negara minoritas. BUMN tersebut adalah PT Jasa Marga, PT BNI Tbk, PT Wijaya Karya, PT Garuda Indonesia, PT Merpati, PT Industri Soda Indonesia, PT Iglas, dan PT Cambrics Primisima, PT Jakarta International Hotel & Development (JIHD), PT Atmindo, PT Intirub, PT Prasadha Pamunah Limbah Industri, PT Kertas Blabak, dan PT Kertas Basuki Rahmat.[10]

Pemerintah melalui kementerian negara BUMN menargetkan sedikitnya enam perusahaan milik negara yang akan melantai di bursa saham (go public) tahun 2008.[11] Sebelumnya, beberapa BUMN sektor perkebunan, seperti PTPN III, PTPN IV dan PTPN VII serta PT Pengembangan Perumahan (PP) dikabarkan masuk dalam list perusahaan yang akan go public tahun 2008.[12] Lantas apa arti dari go public? Go public hakikatnya adalah awal perpindahan kepemilikan saham ke tangan asing.

Pada 2008 ini, kementerian negara BUMN telah mengusulkan ijin memprivatisasi sekitar 27 BUMN kepada komite privatisasi yang diketuai oleh Menko Perekonomian melalui metode initial public offering (IPO), private placement maupun partner strategis. Metode penawaran saham perdana atau IPO dianggap merupakan metode yang terbaik untuk meningkatkan kinerja BUMN dalam persaingan usaha di masa mendatang. Setelah mendapatkan persetujuan DPR paling lambat akhir Maret tahun ini. Pemerintah mengusulkan 34 BUMN diprivatisasi ditambah luncuran (carry over) privatisasi empat BUMN tahun lalu yang belum tuntas. Program luncuran privatisasi BUMN pada 2007 yang belum disetujui DPR adalah PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Indonesia, PT Iglas, dan PT Cambric Primissima.

Memang benar, bahwa Menneg BUMN mengusulkan jumlah saham yang dilepas kepada publik maksimal 40 persen, yang artinya kepemilikan saham pemerintah tetap mayoritas di BUMN tersebut. Tapi, saya meragukan hal itu. Simak saja apa yang terjadi pada Indosat yang melepas lebih dari 85 persen kepemilikan pemerintah. Walaupun katanya masih disertai penyertaan saham seri A yang memberi otoritas kebijakan strategis kepada pemerintah, tetapi saya menilai ini bahasa politis untuk menenangkan kepanikan. Karena memang faktanya, saham seri A itu tidak terlalu signifikan.

Ketiga, Eksploitasi SDA. Saya kira, persoalan eksploitasi SDA sudah diketahui bersama sebagai persoalan laten yang akan tetap ada selama instrumen investasi asing dan privatisasi masih ada. Aset milik publik yang seharusnya dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, kini dikelola oleh swasta untuk kesejahteraan mereka sendiri. Liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui UU Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005, ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia. Tentu masih banyak contoh lainnya yang sangat jelas.


Konspirasi Kapitalis

Kita bisa melakukan analisis, bahwa penyebab semua itu adalah adanya kebijakan yang pro liberal, yakni privatisasi, investasi asing, dan kebijakan lain yang menguntungkan pihak asing. Selain itu, dana pembangunan pemerintah tak jarang dialokasikan untuk pendanaan partai politik dan selainnya lagi dikorupsi. Kedengarannya sangat naif, tetapi ini adalah fakta politik.

Praktiknya tentu tidak sederhana, dalam merealisasikan agenda perampokan kekayaan rakyat, semua dibungkus dengan konspirasi yang sangat rapi. Konspirasi itu akan nampak, terutama ketika kita telusur dengan tiga pendekatan. Pertama, dimasukkannya agen-agen pro liberal. Sejak masa orde baru, AS membantu membentuk Tim Ekonomi yang dikenal dengan Mafia Berkeley. Tim inilah yang kemudian merancang kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik, liberal dan sesuai dengan kepentingan AS. Tim istimewa ini ditempatkan dalam pemerintahan baru yang menguasai perekonomian. Dan hal itu kemudian terbukti, pada juni 1969, Soeharto bertemu dengan tim ini yang kemudian menjadi menteri dalam kabinet pembangunan. Dalam kabinet ini hampir sebagian besar pejabat ekonominya adalah hasil didikan AS terutama dari Mafia Berkeley (MB). Terdapat Widjojo Nitisastro (alumnus Berkeley) sebagai ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Emil Salim (alumnus Berkeley) sebagai wakilnya, Subroto sebagai dirjen pemasaran dan perdagangan (alumnus Harvard), menteri keuangan Ali Wardhana (Berkeley), ketua Penanaman Modal Asing Moh. Sadli (MIT).

Untuk saat ini pun, tepatnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak jauh berbeda. Di tingkat menteri, seperti Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil (pemain utama privatisasi BUMN); Menko perekonomian Boediono (dia menjabat sebagai ketua Komite Privatisasi dan termasuk MB generasi kedua bersama Dorodjatun, Muhammad Ikhsan, M. Chatib Basri dan Rijal Mallarangeng); Menteri keuangan Sri Mulyani (ia pernah menjadi direktur eksekutif IMF untuk Asia Tenggara); dan lain-lain yang merupakan pihak-pihak yang memuluskan agenda liberalisasi. Belum lagi jika kita menilik jajaran BUMN, banyak sekali perombakan dalam rangka memasukkan agen pro liberal, yang itu dilakukan sebelum privatisasi.[13] Hal ini kira-kira semacam conditioning di level mikro.

Kedua, intervensi pembuatan undang-undang. Intervensi asing itu pelaku utamanya adalah IMF, Bank Dunia, WTO,[14] dan lain-lain. Globalisasi dan liberalisasi diimplementasikan lewat kiprah IMF dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Subsidi pupuk dihapus, begitu juga BBM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung terus harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Artinya, melalui tangan IMF –sebelum diputus hubungannya oleh SBY-, kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap kekayaan Indonesia. Pendekatan ini sering disebut dengan intervensi W2G (World to Government), yakni dengan menggunakan lembaga internasional seperti yang disebutkan sebelumnya. Jadi, UU Privatisasi dapat digolkan melalui mesin W2G dengan alasan globalisasi.

Modus lain adalah dengan pendekatan G2G (Government to Government), yakni dengan menggunakan lembaga resmi negara; B2G (Bussines to Government), dengan alasan membuka iklim investasi; dan I2G (Intelectual to Government), dengan konsultan yang memberikan prediksi bahwa fiskal negara ke depan akan lebih sehat dengan privatisasi BUMN. Pendekatan G2G dapat kita temukan lewat sepak terjang lembaga resmi pemerintah seperti USAID (United States Agency for InternationalDevelopment). USAID berperan besar dalam reformasi dan liberalisasi sektor energi di Indonesia. Hal ini tentu saja menggiurkan investor asing karena di Indonesia tersedia minyak dan pasar sekaligus. Simaklah apa yang dikatakan oleh USAID soal reformasi itu, “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform (USAID telah menjadi donor bilateral utama yang bekerja dalam reformasi sektor energi –di Indonesia). Bahkan, USAID juga terlibat dalam penyusunan UU Migas. USAID secara terbuka menyatakan hal itu, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oill and gas law in 2000 (ADB –Asian Development Bank- dan USAID telah bekerja bersama dan merancang undang-undang minyak dan gas yang baru pada tahun 2000.”[15]

Ketiga, penyesatan opini bahwa privatisasi akan membawa perbaikan. Kementerian negara BUMN mempunyai pandangan dari sisi ekonomi mikro. Sedangkan Departemen Keuangan lebih memandangnya dari sisi ekonomi makro. Dalam ekonomi mikro, privatisasi bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang perusahaan BUMN. Privatisasi juga diharapkan dapat meningkatkan good corporate governance (GCG), masuknya sumber keuangan baru ke perusahaan, dan pengembangan pasar. Manfaat alih teknologi dan peningkatan jaringan juga diharapkan dalam privatisasi BUMN yang melalui proses strategic sale. Dari sisi ekonomi makro, tujuan privatisasi berorientasi pada kepentingan fiskal, yaitu untuk menambah sumber APBN pemerintah, perbaikan iklim investasi, dan pengembangan pasar modal. Kemudian, ditentukanlah bahwa metode privatisasi diprioritaskan melalui IPO. Cara ini dipandang dapat memberi ukuran peningkatan kinerja melalui perubahan harga saham.

Saya ingin sekali mengajukan keberatan dengan seluruh agumentasi di atas dalam tulisan ini, namun karena keterbatasan ruang, saya hanya akan menjelaskan secara global. Fakta tentang privatisasi sudah sangat jelas madharat-nya. Konsep privatisasi ini secara mendasar telah mengabaikan hal terpenting dalam ekonomi yakni aspek keadilan distribusi sehingga menciptakan jurang kesenjangan yang makin melebar. Inilah awal petaka bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas miskin karena tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta layanan publik lainnya. Saya memahami bahwa mengukur manfaat dan madharat bukan hanya dari sisi finansial dan ekonomi saja, tetapi juga dari sisi kepentingan-kepentingan strategis. Sayangnya, umumnya Pemerintah mengukurnya hanya sebatas finansial dan sedikit manfaat ekonomi. Sebagai akibatnya, untuk tambang misalnya, keuntungan yang diraup oleh perusahaan asing jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterima Pemerintah Indonesia. Lebih dari itu, dikorbankannya kepentingan-kepentingan strategis bahkan tidak dianggap sebagai kerugian nasional.

Pengelolaan Kekayaan dalam Islam

Keuangan negara mengurus masalah keuangan seperti penerimaan, pengeluaran, dan utang negara. Dapat pula dikatakan bahwa keuangan negara mengurus pengeluaran dan pendapatan pemerintah, ataupun negara, dan hubungan antar sesamanya, begitu pula administrasi dan pengawasan keuangan.

Di dalam daulah Islam, lembaga yang diberi otoritas untuk mengurus masalah keuangan negara adalah baitul mal. Dengan begitu, baitul mal merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Harta baitul mal dapat berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslim berhak memilikinya sesuai hukum syara' dan tidak ditentukan individu pemiliknya.

Termasuk ke dalam pendapatan negara adalah fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah; pemasukan hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya; pemasukan hak milik negara; usyur, khumus, rikaz harta zakat, dll. Adapun termasuk ke dalam alokasi pengeluaran negara, diantaranya adalah pengeluaran seksi dar al-khilafah, seksi mashalih ad-daulah, seksi santunan, seksi jihad, seksi penyimpananan zakat, seksi penyimpanan milik umum, seksi urusan darurat, seksi anggaran belanja negara, pengendali umum dan badan pengawas, serta pengeluaran lain yang legal menurut syara dan diputuskan oleh khalifah.

Dari sisi kebijakan pengelolaan keuangan negara, syariat Islam tidak memperbolehkan negara melakukan pinjaman ribawi apalagi dengan cara menggadaikan kemandirian negara. Sebagai alternatif sumber-sumber pembiayaan negara, Abdul Qadim Zallum mengklasifikasi sumber penerimaan negara ke dalam tigas pos, yakni pos harta milik negara (fai’ dan kharaj), pos harta milik umum, dan pos shadaqah,[16] sebagaimana yang rinciannya telah disebutkan sebelumnya.

Adapun dari aspek kepemilikan SDA, dalam Islam terdapat tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, negara, dan publik. Berarti, kalau kita cermati apa yang terjadi sekarang, harus ada perubahan paradigma. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik publik yang berbasis swasta (corporate based management), harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).[17]

Terakhir, dari sisi transaksi keuangan, Islam melarang transaksi ribawi, yang telah terbukti menjadi pangkal lemahnya pundamental moneter suatu negara. Selain adanya kepentingan asing, kemelut kasus BLBI berpangkal dari lemahnya fundamental moneter Indonesia yang berbasis riba. Persoalannya kemuadian terus berlanjut karena beban bunga yang dibebankan kepada APBN, jumlahnya tidak sedikit. Akhirnya, kasus BLBI berputar-putar dalam variabel moneter yang telah rapuh sejak awal. Saya kira untuk hal yang satu ini argumentasinya sudah sangat jelas.

Haramnya Globalisasi, Privatisasi, Investasi Asing, dan Intervensi Asing

Berbicara globalisasi, menarik jika kita merujuk pendapat ulama ahlussunnah.[18] Globalisasi tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melakukan privatisasi BUMN, agar asing dapat dengan mudah membelinya. Karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda globalisasi ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka serangan kali ini lebih berbahaya dari pada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali ini sekalipun tidak memakai kedok agama, namun tak dapat dipungkiri, sebenarnya lebih mengerikan.

Karena itulah, maka hadits dharar yang dinyatakan oleh Nabi saw.:

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»

Tidak boleh ada bahaya, dan tidak boleh membahayakan (orang lain) (H.R. al-Hakim)

bisa diterapkan dalam konteks bahaya globalisasi. Ini dipertegas dengan penjelasan as-Syaukani dalam Nail al-Authar, yang menyatakan:

«هَذَا فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِ الضَّرَارِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ، مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الجَارِّ وَغَيْرِهِ فَلاَ يَجُوْزُ فِي صُوْرَةٍ مِنَ الصُّوَرِ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ يَخُصُّ بِهِ هَذَا الْعُمُوْمُ فَعَلَيْكَ بِمُطَالَبَةِ مَنْ لِصَاحِبِ المُضَارَةِ فِي بَعْضِ الصُّوَرِ بِالدَّلِيْلِ فَإِنْ جَاءَ بِهِ قَبِلْتَهُ وَإِلاَّ ضَرَبْتَ بِهَذَا الْحَدِيْثِ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ قَاِعدَةٌُ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّيْنِ تَشْهَدُ لَهُ كُلِّيَاتٌ وَجُزْئِيَّاتٌ»

Hadits ini berisi dalil yang menyatakan keharaman dharar (bahaya dan tindakan membahayakan orang lain), dalam konteks apapun. Tanpa ada perbedaan, antara pelaku kezaliman maupun yang lain. Maka, apapun bentuknya tetap tidak boleh, kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya dari keumuman ini. Karenanya, Anda harus meminta orang yang melakukan tindakan berbahaya itu untuk menunjukkan dalil dalam beberapa bentuk tindakannya yang membahayakan; jika ada, maka Anda bisa menerimanya, dan jika tidak, Anda harus menggunakan hadits ini seperti apa adanya. Karena hadits ini merupakan salah satu kaidah agama, yang bisa menjadi argumentasi bagi perkara yang global maupun rinci.[19]

Ada aspek lain yang selalu dikaitkan dengan globalisasi, yaitu terjadinya revolusi di bidang informasi dan komunikasi, yang menyebabkan dunia seperti tanpa batas, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, aspek ini berbeda sama sekali dengan aspek yang pertama, yaitu globalisasi. Sebab, aspek yang kedua ini terkait dengan pemanfaatan teknologi, yang statusnya merupakan madaniyah (produk material), dan hukumnya mubah. Seperti pemanfaatan internet, satelit, parabola dan sejenisnya.
Meski demikian, bisa saja sesuatu yang asalnya mubah itu kemudian berubah menjadi haram, karena aspek dharar. Sekalipun keharamannya dibatasi pada perkara yang berdampak pada dharar saja, dan tidak haram secara mutlak. Ini diambil dari hadits Nabi:

«وَلَمَّا نَزَلَ رَسُوْلُ اللهِ e بِالْحَجَرِ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْك اسْتَقَي النَّاسُ مِنْ بِئْرِهَا فَلَمَّا رَاحُوْا قَالَ: لاَ تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا وَلاَ تَتَوَضَّأُوْا مِنْهُ لِلصَّلاَةِ»

Tatkala Rasulullah saw. singgah di sebuah batu ketika Perang Tabuk, orang-orang menimba air dari sumurnya, ketika mereka telah beristirahat, Nabi bersabda: Jangan kalian minum airnya sedikitpun, dan jangan berwudhu dengan airnya.[20]

Hukum asal air, secara mutlak adalah mubah, dan boleh digunakan baik diminum maupun dipakai berwudhu. Tapi, dalam kasus ini, Nabi melarang air tersebut digunakan untuk minum dan wudhu, meski secara umum larangan tersebut tidak mencakup semua air, melainkan khusus untuk air di sumur tersebut. Dari sinilah, kemudian ditarik kaidah ushul:

«كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ المُبَاحِ، إِذاَ كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حَرَّمَ ذَلِكَ الْفَرْدَ، وَظَلَّ الأَمْرُ مُبَاحًا»

Semua perkara yang asalnya mubah, ketika telah membahayakan, atau menyebabkan bahaya, maka perkara itu menjadi haram, sementara yang lain secara umum tetap mubah.[21]

Dengan demikian, kalaupun teknologi tersebut hukum asalnya mubah, maka ketika ada faktor dharar pada bagian tertentu, baik langsung maupun dampaknya, maka yang diharamkan adalah bagian yang membahayakan itu. Sementara yang lain tidak.

Selanjutnya, bi at-Tafsil kita kaji maudhu’ terkait privatisasi, investasi asing, dan intervensi asing. Dengan berbagai UU yang ada, penanam modal asing mendapatkan pintu amat lebar untuk melakukan investasi di segala bidang di seluruh wilayah Indonesia. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan syariat Islam, tugas utama negara adalah memberikan ri’ayah (pengaturan dan pelayanan) terhadap rakyatnya. Rasulullah saw menyatakan:

فَالإِمَامُ الأَعْظَمُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Maka al-imam al-adzam yang (berkuasa) atas manusia adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya (H.R. Muslim).

Dengan regulasi yang ada, pemerintah memperlakukan secara sama rakyatnya sendiri dan investor asing, dan tidak boleh ada yang diistimewakan. Padahal, menurut syariat Islam, perlakuan terhadap pelaku usaha dalam negeri (rakyat) memang harus dibedakan dengan pelaku usaha asing. Ini antara lain, tampak dalam ketentuan tentang usyur misalnya. Negara hanya boleh memungutnya secara penuh dari perdagangan asing (Kafir Harbi). Abdullah bin 'Umar pernah berkata, “Umar memungut ½ usyur dari perdagangan nabath, minyak (zaitun), dan gandum, supaya lebih banyak dibawa ke Madinah agar rakyat terdorong membawa nabath, minyak zaitun, dan gandum ke madinah. Ia juga memungut usyur dari pedagangan kapas” (H.R. Abu Ubaid). Atsar ini menunjukkan, bahwa 'Umar bin al-Khaththab memungut usyur dari perdagangan yang melewati perbatasan negara, yakni ¼ usyur dari perdagangan umat Islam dan ½ usyur dari pedagangan Kafir Dzimmi serta usyur dari penduduk Kafir Harbi. Mafhumnya, jika dalam perdagangan yang melewati batas negara saja tidak boleh disamakan, terlebih menanam modal yang usahanya berjalan di wilayah negeri muslim, tentu saja lebih tidak boleh disamakan.

Tidak adanya pembedaan bidang usaha yang boleh dikuasai asing dan mana yang tidak, bertentangan dengan konsep kepemilikan dalam Islam, yakni apakah pada sektor kepemilikan individu, kepemilikan umum atau kepemilikan negara. Penanaman modal oleh swasta hanya dibolehkan pada sektor usaha yang dapat dimiliki oleh individu. Sementara dalam sektor kepemilikan umum sama sekali tidak boleh dimiliki oleh swasta, baik dalam negeri maupun asing. Yang termasuk dalam cakupan kepemilikan umum adalah: (1) Sarana-sarana umum yang amat diperlukan oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, padang rumput, api, dll. (2) Harta-harta yang keadaan aslinya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, seperti jalan raya, sungai, danau, laut, masjid, lapangan, dll. (3) Barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah atau tak terbatas. Semua sektor itu tidak boleh dimiliki, dikuasai, atau diserahkan pengelolaannya kepada individu, kelompok individu baik dari dalam negeri apalagi dari luar negeri.

Persoalan krusial lainnya adalah metode penyelesaian sengketa. Solusi akhir sengketa antara pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN) adalah pengadilan. Jika dengan penanaman modal asing (PMA) adalah arbitrase internasional. Menurut Islam, penyelesaian sengketa wajib dilakukan dalam mahkamah yang memutuskan dengan hukum syariat Islam. Diharamkan memutuskan perkara dengan hukum-hukum yang tidak berasal syariat-Nya. Dengan demikian, ketentuan menyelesaikan sengketa dengan membawanya kepada pengadilan yang memutuskan dengan hukum jahiliah adalah haram. Terlebih kepada arbitrase internasional. Lembaga tersebut bukan hanya menerapkan hukum kufur, tetapi juga dikuasai oleh negara-negara Kafir imperialis. Meminta arbitrase internasional untuk memutuskan hukum jelas bisa melapangkan jalan bagi negara-negara itu menguasai negeri ini. Allah Swt berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Dan sekali-kali Allah Swt tidak memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang Muikmin (T.Q.S. an-Nisa': 141).

Menghukum Para Pelanggar

Adanya para penguasa komprador semakin melancarkan proyek liberalisasi dan privatisasi di negeri kaya sumber daya alam ini. Jika penguasa suatu negara benar-benar bisa mengatakan “Tidak”, adanya intervensi asing tidak akan terlalu berarti. Para penguasa komprador ini seakan tidak memiliki nurani; ia rela merestui perampok menjarah kekayaan rakyatnya, sementara rakyat harus puas dengan “hibah” berupa limbah dan kerusakan alam. Kasus Lapindo Berantas mengingatkan kita terkait apa yang sedang kita perbincangkan tadi. Para penguasa telah berbuat kejahatan, karena ikut andil dalam aksi penjarahan itu. Padahal, tidak ada yang didapatkan penguasa model itu, kecuali laknat dari rakyatnya, dan “amplop haram” yang diselipkan orang kapitalis ke dalam saku bajunya. Sangat memalukan sekaligus memilukan. Belum puas dengan itu, mereka mempertontontkan parodi politik yang lucu, berupa tindakan korupsi sistemik untuk memakmurkan diri dan “keluarga besarnya”.

Dengan tegaknya hukum-hukum keuangan negara Islam, kepemilikan umum, dan pelarangan transaksi ribawi, maka tidak ada lagi jalan untuk merampok harta negara. Apabila terjadi pelanggaran maka negara akan memberikan hukuman berat berupa ta’zir yang diputuskan oleh khalifah atau qadli-nya. Bentuk ta’zir dalam pidana Islam bisa berupa, peringatan (wa’zh), publikasi kecurangan (tasyhir), celaan (taubih), penyitaan harta kekayaan, pengasingan, cambuk, penjara hingga hukuman mati jika jelas-jelas menimbulkan kerusakan bagi negara. Sebagai langkah prefentif, negara melarang pemberian hadiah dan suap terhadap pejabat dan aparat negara.

Untuk konteks sekarang, sebenarnya pemerintah secara sadar harus berani menegakkan keadilan bagi masyarakat dengan cara menindak tegas para perampok uang negara. Sebaliknya penanganan kasus korupsi yang terkesan tebang pilih, membuktikan lemahnya penegakkan hukum di negeri ini.

Khatimah

Khulashatul qaul, tunduk pada design ekonomi asing yang pro liberal akan berbuah pada krisis ekonomi, kebijakan yang memberatkan rakyat, dan perampokan terhadap kekayaan negara atas nama investasi, privatisasi, bahkan transformasi manajemen. Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang harus kita perhatikan, dalam menyikapi persoalan ini. Pertama, strategic decision yang bersifat strategis –jangka panjang. Keputusan ini berupa kesungguhan dalam membongkar setiap rencana jahat (kasyf al-khuththath) penguasa yang berkolaborasi dengan agen kapitalis; melakukan edukasi yang masif kepada masyarakat untuk menanamkan mindset Islam; artinya, semua diarahkan untuk melakukan rekayasa sosial menuju tegaknya institusi Islam. Kedua, action plan yang berdimensi aksi dan advokasi jangka pendek. Diantaranya adalah mendesak pemerintah untuk mengembalikan semua kepemilikan publik dengan mengambilalih dari swasta untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat[22]; menghukum tegas para penguasa dan mantan penguasa yang berperilaku kriminal dan curang; mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap setiap UU yang tidak memihak rakyat; menyerukan kepada anggota DPR untuk menyadari peran dan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim yang semestinya senantiasa terikat kepada syariat Islam dalam kegiatan penyusunan perundang-undangan, karena dengan tidak mengacu kepada syariat Islam bukan saja terlarang tapi juga secara pasti akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara; pada tataran akademik, akademisi dapat melakukan rekayasa dengan membuat model atau semacam regulasi dalam sistem keuangan, APBN, dan investasi yang berdasar Islam; walhasil, langkah ini dilakukan untuk semakin menstimulus proses edukasi kepada masyarakat. Wallahu a’lam***


[1] Penulis adalah ibu rumah tangga, peminat masalah politik dan ekonomi, serta kontributor pada situs berita syabab.com
[2] Lihat Ufayroh al-Khonsa, “Nasionalisasi” Kepemilikan Publik, Perspektif Pengelolaan Kepemilikan Publik dalam Rule of The Game Politik Ekonomi Islam, Makalah, 2007. Dalam makalah itu, saya mencoba menjelaskan secara komprehensif bagaimana potensi yang sebenarnya dimiliki Indonesia, namun sistem hidup “ironi” yang membuat rakyat berada dalam kondisi yang tak menentu. Bahkan untuk mempertahankan haknya pun tidak bisa. Lebih ironis lagi, mengetahui apa yang menjadi haknya pun tidak semua mengerti.
[3] Anonim, Kasus-kasus Korupsi Di Indonesia, 2004. [Tempo Interaktif]. Tersedia: http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/10/25/nrs,20041025-04,id.html. [10 Pebruari 2008].
[4] Eko Ari Wibowo, Pemerintah Diminta Tegas Menangani Kasus BLBI, 2007. [Tempo Interaktif]. Tersedia: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/09/04/brk,20070904-106879,id.html. [10 Pebruari 2008].
[5] Hidayatullah Muttaqin, Resiko Hutang Luar Negeri Pemerintah Indonesia (Studi Kasus APBN 1991/1992 – 1999/2000), 2007, hal. 96-98.
[6] Dicky Iskandardinata, BLBI: Bencana Luar Biasa Indonesia, 2000 [Media Indonesia].
[7] BPK, Siaran Pers BPK tentang Hasil Audit Investigasi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI [4 Agustus 2000].
[8] Outstanding Government Domestic Debt, As of September 25, 2002.
[9] Nota Keuangan dan APBN 2002
[10] Anonim, Jumlah Privatisasi 2007-2008 Menjadi 24 BUMN, 2007. [Website PTPN]. Tersedia: http://www.ptpn7.com/portal78. [10 Pebruari 2008].
[11] T. Ve, Enam BUMN Ditargetkan Go Public Di Tahun 2008, 2008. [Balitbang Depkominfo]. Tersedia: http://balitbang.depkominfo.go.id/? [10 Pebruari 2008].
[12] Ibid.
[13] Antara lain pengangkatan Komisaris Utama PT Wijaya Karya, Agoes Widjanarko, menggantikan Junius Saringar Ulibasa Hutabarat. Ahmad Mukhlis Yusuf sebagai Direktur Perum LKBN Antara, serta mengangkat Hendry Subiakto menjadi Ketua Dewan Pengawas. PT Pelabuhan Indonesia III, mengangkat Laksdya TNI (Purn) Mudjito sebagai Komisaris Utama menggantikan Widodo AS. Perum Pembangunan Perumahan Nasional mengangkat Direktur Utama Himawan Aries Sugoto yang menggantikan Ir Harry A Jasa Slawat. PT Brantas Abipraya, mengangkat Komisaris Utama Soenarno menggantikan Ir Harry Sidharta. PT Bina Karya, mengangkat Komisaris Utama Budi Yuwono menggantikan Panggardjito. PT Waskita Karya, mengangkat Komisaris Utama Iwan Nursyirwan Diar menggantikan Sunaryo Sumadji. PT Indra Karya, mengangkat kembali Komisaris Utama Wibisono Setio Wibowo. PT Virama Karya, mengangkat Komisaris Utama Gunawan Adji menggantikan Sri Astuti. PT Indah Karya, mengangkat Komisaris Utama Sugimin Pranoto menggantikan Guntur Hutapea. PT Istaka Karya, mengangkat mengangkat kembali Komisaris Utama Gandhi Harahap. PT Yodya Karya, mengangkat Komisaris Utama Hidayat AR menggantikan Kasru Soesilo. PT Nindya Karya, mengangkat Komisaris Utama Roestam Syarief menggantikan Syarifuddin Akil. PT Pembangunan Perumahan (PP), mengangkat Komisaris Utama Hendriyanto Notosoegondho menggantkan Budhi Tjahjadi. PT Bio Farma, mengangkat Komisaris Utama Achmad Sujudi menggantikan Rusmono. PT Hutama Karya, mengangkat Komisaris Utama Achmad Hermanto Dardak menggantikan Sunarno. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, mengangkat kembali Komisaris Utama Si Putu Ardana. PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional Rajawali Nusantara Indonesia, mengangkat Direktur Utama Bambang Priyono Basoeki menggantikan Rama Prihandana. PT Pelayaran Samudera Djakarta Lloyd, mengangkat Direktur Utama Bravo M.H Karlio menggantikan Thanthawi Hamid. PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung mengangkat Komisaris Ide Zakaria menggantikan Hartik Aningsih. (lihat T. Ve, Manajemen 20 BUMN Dirombak, 2008. [Balitbang Depkominfo]. Tersedia: http://balitbang.depkominfo.go.id/? [10 Pebruari 2008]).
[14] Lihat John Perkins, Confessions of Economic Hit Man, Abdi Tandoer, Jakarta, 2006. Dalam pengakuannya, Perkins mengatakan “... kami jarang mengambil jalan ilegal, karena sistem itu sendiri dibangun di atas ketidakjujuran. Dan sistem itu sah menurut definisinya.”
[15] Keterangan ini bisa dicek dalam http: www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html.
[16] Lihat Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al Amwal fi Daulah Al Khilafah), cet. II, alih bahasa Ahmad S. dkk, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2004, hal. 16-18.
[17] Lihat Ufayroh al-Khonsa, “Nasionalisasi” Kepemilikan Publik, op.cit.
[18] Penjelasan singkat mengenai hal ini bisa disimak dalam Muhammad Fauzan Nurullah al-Julaniy, Adakah Inhiraf Manhaji pada Fikrah Nahdhiyyah?, Makalah, 2008
[19] Muhammad bin 'Ali as-Syaukani, Nail al-Authar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, juz V, hal. 387 dalam Muhammad Fauzan Nurullah al-Julaniy, op.cit.
[20] Abu 'Ubaid, Mu'jam Ma Ista'jama, ed. Musthafa as-Saqa, 'Alam al-Kutub, Beirut, cet. III, 1403, hal. 426. dalam Maktabah Syamilah.
[21] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz' at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2005, hal. 457.
[22] Lihat Yuana Ryan Tresna, Membangun Indonesia yang Mandiri: Upaya Menuntaskan Permasalahan Pembentukan Modal dengan Aksiologi Syariah, Makalah, Bandung, 2006.

Ulama Sunni Mewajibkan Pengangkatan Khalifah

Ulama Sunni Mewajibkan Pengangkatan KhalifahAfkar February 5th, 2008 Print
Mengangkat Khalifah: Fardhu Kifayah
Pada kesempatan ini kami mengkompilasikan sebagian pendapat para ulama mu‘tabar dari berbagai mazhab, terutama mazhab Syafii yang merupakan mazhab mayoritas kaum Muslim di Indonesia, tentang wajibnya Imamah atau Khilafah. Tentu pernyataan mereka itu merupakan hasil istinbâth mereka dari dalil-dalil syariah, baik mereka menjelaskannya ataupun tidak.
1. Imam an-Nawawi:1 Suatu keharusan bagi umat adanya Imam (Khalifah) yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya menyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) Imamah itu adalah fardhu kifayah.
2. Muhammad asy-Syarbini al-Khatib:2 Mewujudkan Imamah/Khilafah yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.
3. Imam Abu Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitab Fath al-Wahâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb:3 Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kapabel untuk peradilan).
4. Imam Fakhruddin ar-Razi, penulis kitab Manâqib asy-Syâfi’i, ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 38:4 Para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam (khalifah) yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah Swt. mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina…Sungguh, umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut, bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu, ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jâzim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam (khalifah), dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam (khalifah) adalah wajib.
5. Imam Abul Qasim an-Naisaburi asy-Syafii:5 Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khithâb (maka cambuklah) adalah imam (khalifah) hingga mereka ber-hujjah dengan ayat ini akan wajibnya mengangkat imam (khalifah).
6. Asy-Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani:6 (Mewujudkan Imamah [Khilafah] adalah fardhu kifayah) karena bagi umat itu harus ada seorang imam (khalifah) untuk menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak orang yang dizalimi dari orang yang zalim, menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya.
7. Pengarang Hasyiyah Qalyubi wa Umayrah:7 Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan sehingga berlaku di dalam Imamah (Khilafah) tersebut apa yang berlaku untuk peradilan, baik dalam kebolehan menerima maupun tidaknya.
8. Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bajairimi:8 Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan sehingga disyaratkan untuk Imam (Khalifah) itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim).
9. Imam Ibn Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri:9 Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan adanya Imam (Khalifah) merupakan keharusan, kecuali an-Najadat. Pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi Ijmak…
10. Imam Ibn Katsir, ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat 30:10 Sesungguhnya al-Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong orang yang dizalimi dari yang menzalimi, menegakkan hudud, mengenyahkan kemungkaran, dan sebagainya yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya Imam (Khalifah).
11. Imam al-Qurthubi, ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat 30: Ayat ini adalah pokok (yang menegaskan) mengenai pengangkatan imam dan khalifah untuk didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan—melalui Khalifah—hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut di antara umat, tidak pula di antara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham. 11
12. Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali ad-Dimasyqi (Ibnu Adil), ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat 30:12 Ibn al-Khatib berkata, “Ayat ini adalah dalil atas wajibnya mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut di antara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham dan orang yang mengikutinya.”
13. Imam Abu al-Hasan al-Mirdawi al-Hanbali, dalam kitab al-Inshâf:13 …mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah.
14. Imam al-Bahuti al-Hanafi:14 (Mengangkat Imam al-A‘zham [khalifah] itu) atas kaum Muslim (adalah fardhu kifayah). Sebab, manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar makruf dan nahi munkar.
15. Pengarang kitab Hasyiyyah al-Jumal:15 Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.
16. Pengarang kitab Mathalib غlî an-Nuhâ fî Syarh Ghayat al-Muntahâ:16 (Mengangkat imam [khalifah] adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsistensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf nahi mungkar.
17. Pengarang Al-Husun al-Hamidiyyah, Syaikh Sayyid Husain Afandi:17 Ketahuilah bahwa mengangkat imam (khalifah) yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan…secara syar‘i adalah wajib.
Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat menyimpulkan, para ulama mu‘tabar dari berbagai mazhab menegaskan bahwa hukum mengangkat imam/khalifah adalah wajib, yaitu fardhu kifayah.
Pelaksaan Fardhu Kifayah
Suatu hal yang ma’lûm bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Sebagai suatu kewajiban, fardhu kifayah sama kedudukannya dengan fardhu ‘ain meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menegaskan,18 “Tidak ada perbedaan (menurut ashâb kita) antara wajib ‘ain dan wajib kifayah, dari sisi kewajiban…”
Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah, Imam asy-Syirazi, dalam kitab Al-Luma’ fî Ushûl al-Fiqh, menjelaskan,19 “Jika terdapat khithâb (seruan) dengan ungkapan umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang visible dengan seruan tersebut baginya. Perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali syariah datang di dalamnya dan Allah menetapkan bahwa seruan tersebut adalah fardhu kifayah, seperti jihad serta mengkafani, menshalatkan dan menguburkan jenazah. Jika kewajiban tersebut telah selesai ditunaikan (di sini Imam asy-Syirazi menggunakan kata aqâma, bukan qâma; dalam bahasa Arab kata aqâma artinya adalah ja’alahu yaqûmu20) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah kewajiban tersebut atas yang lain.”
Artinya, menurut Imam Asy-Syirazi, apabila fardhu kifayah belum selesai ditunaikan maka kewajiban tersebut masih tetap dibebankan atas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek seruan taklif.
Syaikhul Islam Imam al-Hafizh an-Nawawi, dalam Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab, menjelaskan,21 “Makna fardhu kifayah adalah jika siapa saja yang pada dirinya ada kifâyah (kecukupan untuk melaksanakan kewajiban) telah melaksanakannya maka hal itu akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun jika mereka semua meninggalkan kewajiban tersebut maka mereka semua berdosa.”
Al-’Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari menegaskan,22 “Hukum fardhu kifayah itu adalah jika fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki kifâyah maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Setiap orang dari kaum Muslim yang tidak memiliki uzur, jika mereka meninggalkannya, adalah berdosa meski mereka tidak tahu.”
Di sini pengarang Fath al-Mu’in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslim yang tidak ada udzur, tetapi meninggalkan kewajiban tersebut, adalah berdosa.
Alhasil, jika kita merangkum penjelasan para ulama di atas maka: Pertama, kewajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna jika telah sempurna ditunaikan. Jika belum maka tetap menjadi kewajiban bagi seluruh kaum Muslim. Kedua, siapa saja yang melalaikan fardhu kifayah itu tanpa uzur adalah berdosa.
Mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah. Selama kewajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka tetap kewajiban tersebut dibebankan atas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslim dan meninggalkan kewajiban tersebut tanpa uzur adalah dosa.
Mengangkat Khalifah Masih Berada dalam Batas Kemampuan kaum Muslim
Ada sebagian orang yang menganggap kewajiban mengangkat khalifah adalah perkara yang amat sulit untuk dilaksanakan, bahkan mereka mengganggapnya mustahil. Itu sama saja dengan mengatakan, bahwa Allah Swt. telah membebani hamba-Nya dengan kewajiban yang tidak mampu dilaksanakan. Anggapan seperti itu jelas salah. Allah Swt. berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
Imam al-Hafidz Ibn Katsir menjelaskan makna ayat tersebut,23 “Tidak dibebankan pada seseorang sesuatu yang melebihi kemampuannya.”
Inilah yang ditegaskan Allah Swt. atas kita. Allah tidak mentaklifkan suatu perkara yang di luar batas kemampuan kita. Pertanyaannya, apakah mengangkat khalifah untuk menerapkan syariah Allah merupakan kewajiban yang berada di luar batas kemampuan kita? Memang, kalau kewajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh kaum Muslim secara individual tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Namun, bukankah kewajiban tersebut adalah fardhu kifayah, yang dibebankan kepada kaum Muslim secara umum?
Sebagai fardhu kifayah, mengangkat khalifah jelas masuk dalam jaminan Allah di atas, yaitu pasti berada dalam batas kesanggupan kaum Muslim. Jadi, selama kewajiban tersebut belum tertunaikan maka ia tetap tetap dibebankan atas pundak seluruh kaum Muslim.
Jadi, mengangkat khalifah adalah kewajiban kita semua. Tidak sungguh-sungguh untuk mengangkat khalifah tanpa uzur syar‘i terkategori sebagai penelantaran kewajiban yang dibebankan Allah pada kita. Tentu saja berdosa. Apalagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Catatan Kaki:
1 Imam an-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin, III/433.
2 Mughni al-Muhtâj ilâ Ma‘rifah Alfadz al-Minhâj, XVI/287.
3 Imam Al-Hafidz Abu Yahya Zakaria al-Anshri, Fath al-Wahhâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb, II/268.
4 Imam Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb fî at-Tafsîr, VI/ 57 dan 233.
5 Imam Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub asy-Syafii an-Naisaburi, Tafsîr an-Naysaburi, V/465.
6 Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwani, IX/74.
7 Hasiyah Qalyubi wa ‘Umayrah, XV/102.
8 Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bajairimi, Hasyiyah al-Bajayrimi ala al-Khâtib, XII/393.
9 Imam Ibn Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124.
10 Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 1/221).
11 Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, 1/264-265.
12 Ibnu Adil al-Hanbali ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Lubab fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204.
13 Ibnu Sulaiman al-Mardawi al-Hanbali, Al-Inshâf fî Ma‘rifah ar-Râjih min al-Khilâf ala Madzhâb al-Imam Ahmad bin Hanbal, XVI/60 dan 459.
14 Imam Mansur bin Yunus bin Idris al-Bahuti al-Hanafi, Kasyf al-Qinâ’ an-Matn al-Iqnâ’, XXI/61.
15 Hasyiyyah al-Jumal, XXI/42.
16 Al-’Allamah asy-Syaikh Musthafa bin Saad bin Abduh as-Suyuthi ad-Dimasyqi al-Hanbali, Mathâlib Uli an-Nuha fî Syarh Ghâyah al-Muntahâ’, XVIII/381.
17 Sayyid Husain Afandi, Al-Husun al-Hamidiyyah, li al-Muhâfazhah ‘ala al-’Aqâ’id al-Islâmiyyah, hlm. 189.
18 Imam Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/100.
19 Imam asy-Syirazi, Al-Lumâ’ fî Ushûl al-Fiqh hlm. 82.
20 Lihat: Qâmûs al-Mawrid, bagian huruf qaf.
21 Imam an-Nawawi, Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab, V/128.
22 Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‘în, IV/206.
23 Imam Ibnu Katsir,Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, I/737.

Nabi Muhammad Saw. Dihina Lagi!

Nabi Muhammad Saw. Dihina Lagi!Politik, Budaya February 19th, 2008 Print
[EDISI 393] Atas nama kebebasan, Islam dan Rasulullah saw. kembali dihina. Pada tahun 2005 lalu, Koran Jyllands-Posten Denmark menerbitkan kartun-kartun Kanjeng Nabi Muhammad saw. Dalam kartun itu digambarkan Rasulullah saw. membawa pedang dan menenteng ‘bom’. Bahkan dalam salah satu kartunnya, Rasulullah saw. digambarkan sebagai orang yang bersorban, dan di sorbannya terselip bom (terlihat dari bentuk dan sumbunya). Lalu, Januari 2006 kartun-kartun itu dimuat di media massa Norwegia. Bahkan karikatur-karikatur tersebut muncul di berbagai koran harian Prancis, seperti France Soir.
Kasus tersebut mencuat lagi setelah Badan Intelijen Denmark, PET (12/2/2008), mengklaim berhasil mengagalkan sebuah rencana pembunuhan terhadap kartunis Kurt Westergaard, yang menggambar kartun Nabi Muhammad itu. Keesokan harinya (13/2/2008), karikatur yang melecehkan dan menghina Islam tersebut dimuat kembali oleh sebelas media massa terkemuka di Denmark dan televisi nasional, termasuk Koran Jyllands-Posten. Sedikitnya tiga harian di Eropa, yaitu di Swedia, Belanda dan Spanyol, juga mencetak karikatur penuh kebencian itu. Anehnya, pada 13/2/2008, orang nomor satu PET, Jacob Scharf, segera membebaskan para tersangka dari tuduhan itu. Pihak berwenang tidak membeberkan bukti yang mendukung tuduhan mereka, tetapi kemudian dengan mudah melepas mereka. Ini menunjukkan ada upaya sengaja untuk menghina Islam dan Rasul-Nya dengan justifikasi klaim bohong tersebut.
Dulu, tahun 2005, pemerintah Denmark merestui penghinaan tersebut. Kala itu, Pemerintah Denmark lewat PM Anders Fogh Rasmussen membela koran dengan alasan hak kebebasan berbicara. Kini, alasan yang sama disampaikan. “Kami tidak meminta maaf bagi kebebasan berbicara,” ujar Soevndal, pemimpin Partai Rakyat Sosialis, seperti dikutip BBC, Minggu (17/2/2008).
Kebebasan hanyalah kedok. Intinya adalah kebencian. Tengoklah ucapan Kurt Westergaard, kartunis yang menggambar kartun Nabi itu, kepada Berlingske Tidende, Rabu (13/2), ”Dengan kartun ini saya ingin menunjukkan bagaimana fanatiknya Islam fundamental atau teroris menggunakan agama sebagai jenis senjata spriritual.”
Kebebasan Mereka adalah Kebencian
Kebebasan beragama dan kebebasan berbicara yang disembah oleh kalangan sekular dan liberal merupakan penyakit berbahaya. Mereka tidak membedakan mana kebebasan yang muncul dari fitrah manusia dan mana yang justru merusaknya.
Realitas menunjukkan bahwa kebebasan beragama ada dua jenis. Kebebasan jenis pertama adalah kebebasan untuk menganut agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Bentuk kebebasan demikian dijamin oleh Islam. Allah SWT berfirman:
لاََ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS al-Baqarah[2]: 256).
Kebebasan jenis ini muncul dari fitrah manusia untuk mensucikan sesuatu yang dijadikan sesembahan (gharîzah tadayyun).
Berbeda dengan itu, kebebasan jenis kedua merupakan kebebasan untuk merusak agama, mengolok-olok dan menodai agama, atau meruntuhkan bangunan agama. Kebebasan demikian sangat berbahaya dan menyalahi fitrah manusia. Sebab, ia menggiring manusia pada pertentangaan dan perpecahan masyarakat, bahkan dapat berujung pada porak-porandanya tatanan masyarakat dan negara. Penghinaan terhadap Rasulullah kekasih kaum Mukmin lewat kartun, penghinaan al-Quran dengan dimasukkan ke kloset sebagaimana terjadi di Guantanamo, atau al-Quran dituduh sebagai The Satanic Verses (ayat-ayat setan), pengakuan sebagai nabi/rasul baru dalam Islam setelah Nabi Muhammad saw., meyakini buku Tadzkirah yang memutarbalikkan al-Quran sebagai wahyu suci, dalam kasus Ahmadiyah, dll. termasuk ke dalam kebebasan jenis ini. Kebebasan ini dilarang dalam Islam. Tengoklah, Rasulullah saw. menyatakan Musailamah dan siapapun yang mengaku nabi/rasul dan mengklaim menerima wahyu sesudah beliau sebagai pendusta/al-kadzdzab (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Setelah menelaah banyak hadis, Imam asy-Syaukani menukil pendapat para fukaha, antara lain pendapat Imam Malik, yang mengatakan bahwa orang kafir dzimmi seperti Yahudi, Nasrani dan sebagainya yang menghujat Rasulullah saw., harus dijatuhi hukuman mati; kecuali jika mereka bertobat dan masuk Islam. Adapun jika pelakunya seorang Muslim, ia harus dieksekusi tanpa diterima tobatnya. Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa pendapat tersebut sama dengan pendapat Imam Syafii dan Imam Hanbali.
Kebebasan demikian lahir dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Kebebasan ini pulalah yang dipropagandakan oleh Barat dan orang Islam yang membebek kepadanya. Tidaklah mengherankan, fakta menunjukkan kebebasan liar seperti ini tidak akan dapat menyatukan manusia. Kebebasan jenis kedua ini menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Penghinaan satu pihak terhadap pihak lain dibiarkan atas nama kebebasan. Peradaban sekular telah gagal mewujudkan kedamaian dan keharmonisan manusia.
Sayangnya, ada pihak yang disebut ‘tokoh’ bahkan ‘tokoh Islam’ yang justru membela kebebasan jenis kedua itu. Dalihnya: kebebasan berbicara. Mereka terjebak oleh slogan ‘Islam moderat’ yang diusungnya. Padahal, sadar atau tidak, tindakan mereka itu sedang menelikung Islam dan merobohkan umatnya.
Sikap Penguasa vs Khalifah
Anehnya, mayoritas penguasa di Dunia Islam saat ini diam. Pemerintah Indonesia pun tidak menganggap hal ini sebagai perkara penting. Buktinya, tindakan paling ringan pun tidak mereka lakukan. Mereka tidak melakukan kutukan, protes atau memanggil duta besar Denmark dan negara lain yang terlibat penghinaan atas Islam. Bandingkan, jika kepala negara dihina, segera pelakunya diprotes dan diadili. Padahal lebih mulia mana Nabi Muhammad saw dibanding mereka? Namun, mengapa ketika Rasulullah saw. dihina mereka diam saja? Dimana letak penghormatan dan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad saw.? Bukankah Rasulullah saw. harus lebih dicintai daripada keluarga, harta, diri sendiri, bahkan manusia secara keseluruhan seperti ditegaskan dalam banyak hadis? Sikap seperti ini bukanlah sikap penguasa Muslim, bertentangan dengan ajaran Islam dan jauh dari sikap para khalifah kaum Muslim.
Dulu, Prancis pernah merancang untuk mengadakan pertunjukan drama yang diambil dari hasil karya Voltaire. Isinya bertemakan “Muhammad atau Kefanatikan”. Di samping mencaci Rasulullah saw., drama tersebut menghina Zaid dan Zainab. Ketika Khalifah Abdul Hamid mengetahui berita tersebut, melalui dutanya di Prancis, beliau segera memberikan ancaman kepada Pemerintah Prancis supaya menghentikan pementasan drama tersebut. Beliau mengingatkan bahwa ada tindakan politik yang akan dihadapi Prancis jika tetap meneruskan dan mengizinkan pementasan tersebut. Prancis akhirnya membatalkannya.
Tidak berhenti sampai di situ. Perkumpulan teater tersebut berangkat ke Inggris. Mereka merencanakan untuk menyelenggarakan pementasan serupa. Sekali lagi, Khalifah Abdul Hamid memberikan ancaman kepada Inggris. Inggris menolak ancaman tersebut. Alasannya, tiket sudah terjual habis dan pembatalan drama tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan (freedom) rakyatnya. Perwakilan Khilafah Utsmaniyah di sana mengatakan kepada Pemerintah Inggris bahwa Prancis telah menggagalkan acara tersebut sekalipun sama-sama mengusung kebebasan. Pihak Inggris justru menegaskan bahwa kebebasan yang dinikmati rakyatnya jauh lebih baik daripada apa yang ada di Prancis. Setelah mendengar sikap Inggris demikian, sang Khalifah menyampaikan, ”Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!”
Melihat keseriusan Khalifah dalam menjaga kehormatan Rasulullah saw. tersebut, Pemerintah Inggris segera melupakan sesumbarnya tentang kebebasan, dan pementasan drama itu pun dibatalkan (Lihat: Majalah al-Wa‘ie, No. 31, 2003).
Hakikat drama di atas dengan tema ”Muhammad atau Kefanatikan” sama dengan hakikat pembuatan kartun Nabi saw. saat ini. Lihatlah ungkapan Kurt Westergaard, pembuat kartun-kartun itu, sekali lagi, ”Dengan kartun ini saya ingin menunjukkan bagaimana fanatiknya Islam fundamental atau teroris menggunakan agama sebagai jenis senjata spriritual.” Isinya, sama-sama mengusung tema, ”Muhammad atau Kefanatikan”.
Semestinya, sikap penguasa dan para ulama dalam menyikapi karikatur/kartun Nabi saw. juga sama dengan sikap Khalifah Abdul Hamid di atas.
Wahai umat Islam!Wahai umat Muhammad saw.!
Penghinaan terhadap Islam dan Rasulullah saw. terus berulang. Hal serupa akan terus terulang hingga mereka tahu bahwa kita umat Muhammad saw. memiliki benteng. Mereka tahu, penguasa saat ini bukanlah benteng bagi umat. Benteng itu adalah Khalifah. Karena itu, Hizbut Tahrir bersama dengan berbagai komponen umat terus berjuang mewujudkan Khilafah. Tanpa Khilafah, kita akan terus diinjak-injak. Padahal kita adalah umat terbaik. Lupakah kita akan firman Allah SWT:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3]:110).
Karena itu, siapa pun yang menyerang pendirian khilafah yang jelas-jelas telah membela Nabi dan Islam, hakikatnya sama dengan membiarkan Islam dan Nabinya terus dinistakan. Mereka adalah bagian dari kaki tangan orang kafir penjajah. []
Komentar al-islam:
Syaikh Qaradhawi Ajak Aktifkan Kembali Boikot Denmark (Hidayatullah.com, 18/2/2008).
Ajakan tersebut penting. Namun, menyeru para penguasa Muslim untuk melancarkan jihad terhadap negara-negara kafir yang memusuhi Islam dan umatnya jauh lebih penting.

Iraq for Sales

Iraq for Sales : Rebutan Tender Minyak di Iraq
Katagori : GaleryOleh : Redaksi 22 Feb, 08 - 12:30 pm Lebih 70 perusahaan raksasa internasional di bidang perminyakan berlomba-lomba berebut proyek-proyek perminyakan di Iraq. “Hancurnya” Iraq lahirkan proyek!Lebih dari 70 perusahaan raksasa internasional yang bergerak di bidang perminyakan berlomba-lomba berebut proyek-proyek perminyakan di Iraq. Perusahaan-perusahaan raksasa minyak dunia segera mengajukan proposal pengembangan lahan-lahan minyak Iraq kepada Kementerian Perminyakan negara ini. Perusahaan pemenang tender itu akan diumumkan bulan depan dan dengan sendirinya bakal mengantongi perizinan melakukan aktivitas di lingkungan industri perminyakan Iraq. (watch full movie : "Iraq for sales") Sebelum ini, sebagian perusahaan-perusahaan minyak telah menandatangani kerja sama perminyakan di daerah otonomi Kurdistan Iraq. Namun apa yang dilakukan itu tidak disetujui oleh pemerintah Baghdad. Pemerintahan Nouri Al-Maliki bahkan mengancam bahwa kerja sama yang telah dilakukan itu bakal dibatalkan.Saat ini, perusahaan-perusahaan minyak Amerika yang aktif bekerja sama dengan industri perminyakan Iraq. Hussein Al-shahristani, Menteri Perminyakan Iraq menyatakan Undang-Undang (UU) perminyakan Iraq telah diratifikasi hingga akhir tahun 2008. Isi UU perminyakan Iraq itu merekomendasikan peningkatan jumlah produksi dan ekspor minyak Iraq hingga tiga kali lipat selama lima tahun mendatang dan perluasan kerja sama di bidang industri perminyakan demi pengembangan industri minyak Iraq.Hal yang perlu dicermati lebih adalah keinginan perusahaan minyak Perancis, Total untuk bermain di pasar-pasar minyak Iraq. Dan untuk itu, perusahaan ini akan mengadakan konferensi di Paris. Namun yang paling menarik adalah perusahaan ini juga punya misi lain, mengembalikan para eksponen Partai Baath di bisnis minyak Iraq dengan formasi yang baru. Sebagian berita malah menyebutkan, para eksponen Partai Baath bakal hadir dalam konferensi yang diprakarsai oleh perusahaan Total di Paris pada tanggal 25 Februari dan bakal ada agenda khusus pertemuan antara para pejabat Total Perancis dengan mereka.Pelelangan tender minyak yang disampaikan oleh pemerintah Iraq membuat mayoritas perusahaan minyak internasional tergiur. Namun tentu saja, setiap perusahaan minyak internasional yang ingin beroperasi di Iraq tidak hanya mencari keuntungan pribadi, tapi ingin menancapkan pengaruhnya di negara ini. Rusia adalah negara yang selama ini menyatakan kesediaannya untuk ikut dalam proyek-proyek minyak Iraq dan perusahaan Total Perancis telah siap untuk kembali melakukan aktivitasnya di industri perminyakan Iraq. Di sisi lain, untuk membangun kembali negaranya, Iraq memerlukan modal yang tidak sedikit. Iraq membutuhkan para pemodal luar negeri dan menyambut para pemodal yang ingin menanam modalnya di negerinya.Kebutuhan timbal balik antara Iraq dan perusahaan-perusahaan minyak internasional membuat pemerintah Baghdad harus benar-benar memperhatikan maslahat dan kepentingan nasionalnya. Itulah mengapa perjanjian kerja sama dengan perusahaan-perusahaan internasional menjadi perhatian utamanya. Menurut pemerintah Baghdad harus ada transparansi dalam setiap kerja sama yang dilakukan dan hanya satu pengambil keputusan. Dengan alasan itu pula Baghdad mengancam akan membatalkan nota kesepakatan antara sebagian perusahaan minyak internasional dengan pemerintah otonomi Kurdistan karena dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah pusat.Sebelum ini, beberapa saat setelah jatuhnya Iraq oleh Amerika, Halliburton, termasuk finalis perusahaan AS memenangi tender pemerintah Amerika Serikat untuk membangun kembali Iraq paska perang.Perusahaan jasa perminyakan yang bermarkas di Houston itu ada nama Wapres AS Dick Cheney yang pernah memimpin perusahaan tersebut selama lima tahun, merupakan satu dari lima perusahaan yang diajak pemerintah George W Bush pada bulan lalu untuk ikut tender pembangunan kembali Iraq paska perang. Halliburton diminta ikut melakukan pembangunan fisik itu meliputi jalan, jembatan dan rumah sakit. Perusahaan raksasa AS dan Negara besar yang ikut “berebut” di Iraq memang bukan hanya Halliburton. Ada juga perusahaan dan kontraktor kelas kakap, seperti Bechtel, Fluor, Washington Group Interna­tional, Perini Corporation, Parsons, Lucent, dan CH2M Hill. [irb/hid/www.hidayatullah.com]

Kebenaran Konsep Ilmiah Nyeri dalam Al-Qur'an

Katagori : Journey to IslamOleh : Redaksi 20 Feb 2008 - 12:30 pm Oleh : dr. Ade HashmanAl-Qur’an memberikan ilustrasi bahwa bentuk siksaan kepada orang-orang yang durhaka berupa derita sangat pedih yang diakibatkan luka bakar dikulit.
(إنَّ الذٌينّ كّفّرٍوا بٌآيّاتٌنّا سّوًفّ نصليهم نّارْا كٍلَّمّا نّضٌجّتً جلودهم بدلناهم جلوداَ غيرها ليذوقوا العّذّابّ إنَّ اللَّهّ كّانّ عّزٌيزْا حّكٌيمْا ) (النساء56).Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS 4:56.).Professor Tejatat Tejasen is the Chairman of the Department of Anatomy pada Chiang Mai University, Chiang Mai, Thailand masuk Islam setelah baca ayat diatas... Menarik ditinjau dari perspektif kedokteran mengapa penyebutan kulit dikaitkan dengan sensasi nyeri yang diderita para penghuni api jahanam itu.Menurut defenisi IASP (International Association for the Study of Pain) 1979, nyeri didefenisikan sebagai sensori (rasa indrawi) dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak, atau tergambarkan seperti itu. Menyitir salah satu defenisi tersebut, proses yang obyektif nyata yang terjadi bila nyeri muncul adalah akibat kerusakan jaringan.Kerusakan ini bisa disebabkan pelbagai faktor (trauma fisik, trauma kimiawi trauma thermis dll).AKHIR UJUNG SYARAF BEBASMungkin secara awam, orang banyak menduga bahwa seluruh bagian tubuh kita sensitif terhadap perasaan nyeri, ternyata setelah ilmu anatomi dan fisiologi berkembang; dugaan seperti itu tidak benar sama sekali. Ada bagian-bagian tertentu dalam tubuh kita yang berperan spesifik untuk merespons atau mengantar sensasi nyeri, yakni ujung syaraf bebas. Dan ternyata tidak semua ujung-ujung syaraf berperan sebagai sarana pengangkut sensasi nyeri, ternyata kini diketahui hanya 2 tipe serabut syaraf yang berperan sebagai pengangkut nyeri yakni syaraf C dan A (delta).Ujung akhiran syaraf (NERVE ENDING) penghantar nyeri tersebut secara histologis “hanya terdapat pada lapisan kulit (dermis) saja !”. Bila dokter mau melakukan sebuah sayatan bedah, maka dokter biasanya menyuntikkan obat blok terhadap syaraf tersebut (anestetik local) hal itu dimaksudkan agar signal nyeri akibat kerusakan jaringan tidak diteruskan ke sentral sehingga pasien yang tengah diiris, dipotong, disayat jaringan tubuhnya tidak merasa sakit sama sekali. Dan agar diketahui, sensasi sakit tersebut hanya ada pada lapisan kulit saja (otot, lapisan lemak tidak menyebabkan sensasi sakit sama sekali bila dilukai). Itulah mengapa Qur’an mengatakan ”Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab....”SEMPURNANYA LUKA BAKARDiantara semua bentuk musibah fisik yang dialami manusia, boleh dibilang kecelakaan akibat luka bakar merupakan musibah yang paling sial dari semua musibah-musibah yang ada dimuka bumi. Komplikasi akibat luka bakar sangat kompleks (dari ujung rambut hingga ujung kaki) dan sukar ditangani, biasanya pasien-pasien yang menderita luka bakar dengan prosentasi yang tinggi akan meninggal dunia, sukar memanage korban luka bakar.Mulai dari, pembengkakan pada daerah orofarings, intoksikasi karbon, dehidrasi berat, asidosis, ancaman gagal ginjal, kebocoran kapiler diseluruh tubuh, hingga ancaman sepsis berat akibat infeksi.... semua model symptom menakutkan dan mematikan ada dalam korban ”luka bakar”, Pantas bila Qur’an menyebut ”pembakaran” adalah model siksaan yang paling pedih, bukan model-model lain seperti (pentungan, pukulan...dsb)- http://www.quranicstudies.com/printout73.html- http://www.islam-guide.com/video/tejasen-1-56k.smi

Rencana Privatisasi PLN Konyol

Oleh : Redaksi 22 Feb 2008 - 4:00 am

Mengamankan pasar bebas dari industri listrik itu konyol. Ini adalah angan-angan yang naïf. Tapi anehnya pikiran ini kok diadopsi, seolah semua kata-kata pasar bebas itu dianggap baik. Kalau ini terjadi maka inilah yang disebut kemiskinan struktural. Kita melihat bagaimana kapitalisme ini bekerja dan menyebabkan kemiskinan rakyat. Demikian disampaikan oleh Ismail Yusanto, jubir Hizbut Tahrir Indonesia pada acara diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan, di Jakarta, Senin (18/2). Acara yang dihadiri pembicara Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi) dan Ir Ahmad Daryoko (Ketua Umum Serikat Pekerja PLN) bertema, Pro-Kontra Privatisasi PLN. Acara rutin yang diselenggarakan Forum Umat Islam ini didukung Tabloid Suara Islam dan Kantor Berita Antara.

Menurut Yusanto, dalam kasus PLN ini sangat nyata. “Kalau ini dibiarkan akan melahirkan penjajahan baru melalui penguasaan energi dan Sumber Daya Alam. Dan selangkah lagi kita akan betul-betul dalam genggaman negara Barat. Dan habislah kita karena Barat akan makin mudah mengontrol kita dalam berbagai aspek kehidupan,” ujarnya.

Semakin nyata, neokolonialisme itu bekerja melalui penguasaan aset negara, energi khususnya. Tentu saja ini akan mengancam kemandirian energi. Selanjutnya tentu akan mengancam kemandirian politik.

Coba bayangkan, jelasnya, kalau swasta yang menguasai listrik itu menghentikan pasokannya di Jawa, bila terjadi keteganan atau perang? Maka bubarlah Jawa ini, padahal Indonesia ini ada di Jawa, karena di sini pusat pemerintahan dan lainnya. Kalau PLN kan bisa dijaga karena ia punya kita sendiri. “Karena itu tidak berlebihan kalau Hizbut Tahrir menulis awas PLN dalam bahaya, karena kemandirin energi itu sangat penting bila kita mau berbicara kemandirian politik.”

Yusanto juga menjelaskan, dalam pro kontra privatisasi PLN ini ada tiga hal yang patut diperhatikan, yakni pertama soal manajemen pengelolaan SDA atau energi. Ada pergeseran yang sangat nyata dari pengelolaan state base management menuju corporate base management, yaitu pengelolaan berbasis negara menjadi pengelolaan berbasis perusahaan. Dan sekarang ini semakin menjadi-jadi karena hampir menyentuh komoditas atau bentuk sumber daya alam atau jasa publik.

Privatisasi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Sebab sumber daya alam dan energi itu milik masyarakat. Yusanto menceritakan suatu saat ada seorang sahabat yang minta ladang garam kepada Rasulullah. Tapi kemudian diperingatkan oleh sahabat Rasulullah. Dikatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah telah memberikan sesuatu yang jumlahnya sangat banyak atau sesuatu yang akan terus mengalir. Akhirnya Rasulullah pun menarik kembali pemberian itu.

Ini selaras dengan Penyataan Rasulullah, masyarakat berserikat (memiliki bersama) terhadap air, padang rumput dan energi. “Jadi dalam hal ini mestinya karena masyarakat memiliki secara bersama, maka mereka harus memiliki akses untuk mendapatkan hak miliknya itu,” papar Yusanto.

Tentang tugas pokok dan fungsi negara, seharusnya pemerintah bekerja sebagai penyedia jasa publik, yang merupakan bukti penting kita punya negara. Sekarang tampaknya terjadi pergeseran, yakni negara yang mestinya sebagai penyedia jasa publik cuma menjadi sekadar regulator (pengawas atau pengatur) atau cuma sebagi pelaku intervesi. Tidak boleh ikut bermain. Ini semua tidak lepas dari visi Adam Smith tentang pasar bebas.

Sementara itu Ahmad Daryoko, tidak setuju dengan pernyataan Meneg BUMN, Sofyan Jalil yang mengatakan bahwa masalah privatisasi di PLN itu tidak ada. “Itu patut dipertanyakan sebab dalam UU No 19 tahun 2003 di pasal 14a3 PLN sekarang ini sudah akan memasuki masa strukturisasi. Dan dalam UU tersebut restrukturisasi itu adalah sasaran antara menuju privatisasi,” ujarnya. Daryoko mengatakan tahapannya adalah restrukturisasi, kedua unbudling, profitisasi dan privatisasi.

Ichsanuddin Noorsy mengatakan UU Kelistrikan yg sudah dibatalkan MK dan UU Migas adalah persyaratan bagi paket stand-by loan IMF sebesar $ 43 milyar dan sejumlah pinjaman struktural lainnya yang diberikan oleh Bank Dunia, ADB dan negara-negara kreditor. “IMF memaksa program penyesuaian strutural itu,” ujarnya.

Pengamat ekonomi ini juga mengatakan, sesungguhnya sejak Eropa berkuasa, sebelum perang dunia I dan II pada hakekatnya hampir semua negara dikuasai Eropa sebagai pasar dan sumber daya. Salah satunya adalah Indonesia.

Indonesia sejak soeharto berkuasa sampai SBY, seperti ditulis Jhon Perkins Indonesia adalah sapi perah bagi pertambangan Amerika. “Tapi hampir kebanyakan ekonom, politisi dan pengusaha di Indonesia tidak percaya bahwa Indonesia dijadikan sapi perah oleh pertambangan Amerika. Kenapa? karena mereka tidak tahu,” papar Noorsy.

Sebab lainnya, saat ini, katanya, kiblat ekonomi kita berpijak pada mekanisme pasar. Ekonomi kita berpijak kepada yang tidak gratis. Pasar adalah pengambil keputusan yang paling bijaksana.Kemudian pasar diminta menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran ketimpangan. Ini kacau.

Noorsy mengatakan bahwa pasar tidak menjamin kehidupan kita ke depan. Karena itu ia mengingatkan kepada para ekonom propasar. “Kalau Yahudi-Yahudi itu mengatakan bahwa mekanisme pasar hanya menguntung kapitalis dan memiskinkan kaum miskin, kenapa kita sok-sokan masih bicara soal mekanisme pasar segala-galanya. Kenapa masalah hajat hidup orang masih mau berlakukan dalam mekanisme pasar. Padahal kapitalisme itu tak akan pernah memberikan manfaat pada masyarakat luas,” paparnya. [pd/HTI]

Privatisasi PLN, Asing Ancam Sektor Energi Listrik Indonesia
Privatisasi sektor kelistrikan dengan pecahan (unbundling) baik secara vertikal maupun horizontal PT. PLN akan mengakibatkan beban listrik yang harus dibayar oleh masyarakat semakin besar, selain itu membuka peluang pihak asing asing untuk menguasai sektor kelistrikan di tanah air.

“Program ini pasti akan menaikan harga, sebab listrik selama ini mulai dari pembangkit, kemudian transmisi, distribusi, dan retail melalui satu tangan. Ini akan dipecah-pecah, “jelas Ketua UmumDPP Serikat Pekerja PT. PLN Ahmad Daryoko dalam Acara Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertema “Prokontra Privatisasi PLN”, di Gedung YTKI, Jakarta, Senin(18/2).

Menurutnya, apabila pembangkitan listrik ditangani oleh perusahaan asing, kemudian yang mengurus transmisi oleh perusahaan lain, dan yang melakukan distribusi lain lagi, dikhawatirkan akan terjadi perebutan keuntungan dari pembayaran konsumen.

“Tiap masing-masing bagian itu akan membebankan biaya kepada konsumen, yang dirugikan konsumen, apalagi ketika terjadi beban puncak, bisa seperti Kamerun naik 15-20 kali lipat biayanya. Yang untungkan mereka yang menguasai unit-unit tadi, inikan instalasi milik publik tetapi kenapa dikuasai pribadi-pribadi, “tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Indonesia secara sistemik selama tiga generasi terus dijadikan sapi perahan AS, karena secara ekonomi tidak bisa bebas.

“Indonesia selalu merujuk kepada mekanisme pasar, dan ini sejalan dengan konsensus Washington yang menuliskan bahwa tidak ada barang yang gratis, “tegasnya.

Karena itu, lanjut Ichsan rencana privatisasi PLN yang nantinya akan tergantung pada mekanisme pasar ini, selalu mengukur kekuatan dari segi materi, hal itu hanya akan menguntungkan kelompok kapitalis, dan terus menyengsarakan rakyat.

Di tempat yang sama Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto menegaskan, kebijakan ekonomi pemerintah terhadap sektor kelistrikan ini, kalau dibiarkan akan bertentangan dengan prinsip keadilan, sebab Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Energi ini merupakan milik rakyat.

“Masyarakat harus mempunyai akses yang sama untuk memperolah hak miliknya, dan seharusnya pemerintah hanya mengatur ketersediaannya, “jelasnya

Ia menilai, rencana pemerintah untuk melakukan pemecahan PLN telah mengubah fungsi negara menjalankan pengawasan terhadap SDE, namun tidak lepas dari visi pasar bebas berupa penjajahan baru melalui penguasaan sumber daya energi.

Wacana privatisasi PT. PLN ini bermula pada rapat umum pemegang saham (RUPS) PT PLN pada 8 Januari 2008. Keputusan dalam RUPS itu kali ini sangat istimewa, karena berupa restrukturisasi terhadap PLN berupa pembentukan 5 anak perusahaan distribusi (Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali) serta paling lambat akhir tahun 2008 membentukan satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali. Juga akan dibentuk dua BUMN Pembangkitan bahwa PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali yang terpisah dari PLN.(novel; eramuslim.com; Senin, 18 Peb 08 18:33 WIB)

Save Our Generation

”Save Our Generation”
Katagori : DomestikOleh : Redaksi 22 Feb, 08 - 3:30 am Bandung :Upaya musuh-musuh Islam untuk menghancurkan ajaran Islam tidak pernah berhenti. Melalui perang pemikiran (ghazwu al-fikri) dan pertarungan kebudayaan (ghazwu ats-tsaqafi) mereka melontarkan senjata-senjata terbarunya, mengarahkan moncong-moncong senjata-senjata baru mereka ke tengah-tengah kaum muslimin. Diantara berbagai isu yang paling santer dikembangkan oleh peradaban Barat yang kafir adalah Liberalisme & Hedonisme.Dalam kancah politik, sekularisme tetap menjadi pilihan pavorit para elit. di tengah maraknya pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia, termasuk yang akan digelar di Jawa Barat, tidak pernah terdengar visi, komitmen dan kampanye dari para kandidat untuk menjadikan Islam sebagai solusi dan acuan dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan masyarakat. Alih-alih berkomitmen untuk menerapkan Syari’at Islam secara total, untuk hanya sekedar menerapkan peraturan daerah (Perda) yang bernuansa Islam pun, tidak pernah mereka dengungkan. Selain itu, pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang pada tahun 2008 ini digelar di 160 daerah tersebut, menghabiskan biaya triliunan rupiah uang rakyat. Sungguh sangat ironis, di tengah sulitnya kondisi ekonomi masyarakat, pemerintah malah menghamburkan uang yang sangat banyak untuk hanya memuaskan keinginan para elit politik. Dalam konteks sosial-budaya, paham liberalisme dan hedonisme telah menjadi pandangan hidup sebagian besar para remaja kita. Sebagai contoh, konser musik underground dan pesta minuman keras di Bandung baru-baru ini (10/02), yang menewaskan 11 anak remaja, menggambarkan begitu gelapnya kehidupan anak-anak kaum muslimin. Contoh lainnya, perayaan Valentine Day yang berasal budaya ‘sampah’ barat dan mengajarkan free-sex, seolah menjadi trademark yang tidak bisa ditinggalkan, bahkan dirayakan besar-besaran, seperti layaknya merayakan hari besar keagamaan.Untuk itulah, pada hari Ahad (17/02) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat menggelar aksi damai dan longmarch, sebagai bentuk keprihatinan dan tanggungjawab menyadarkan ummat, dari kondisi tersebut, yang bertajuk “Selamatkan Generasi dari Bahaya Sekularisme dan Liberalisme. Sesaat sebelum longmarch, Ketua DPD I HTI Jabar, Ust. Muhammad Ryan menyampaikan opening speech di hadapan ribuan peserta, untuk mengingatkan maksud dan tujuan dilaksanakannya aksi. Aksi yang disentralkan di depan BIP (Bandung Indah Plaza) tersebut sempat menyita perhatian pengunjung mall, terutama ketika aksi teatrikal ditampilkan. Selain itu, secara bergantian, beberapa aktivis HTI Jabar, diantaranya Ust. Acep Muhyiddin, Ust. M. Roni, dan Ust. Luthfi Afandi menyampaikan orasi di depan mall yang menjadi icon ‘tempat gaul’ anak muda di Bandung tersebut.Dalam kesempatan tersebut, di hadapan ribuan masyarakat, para orator menyampaikan beberapa hal, diantaranya; seruan kepada kepada aparat pemerintah dan kepolisian untuk melarang dengan tegas dan mencabut perizinan atas acara-acara dan tempat-tempat yang akan menjerumusukan pemuda dan remaja kita kepada kehancuran akhlak dan kepribadian, seperti seks bebas, narkoba, minuman keras dan perilaku amoral lainnya, serta mendukung fatwa MUI yang dengan tegas mengharamkan perayaan Valentine Day.Selain itu, mereka juga menyerukan kepada para pimpinan ormas, ulama, dan orang tua, agar secara sungguh-sungguh dan serius membina para remaja dengan aqidah yang lurus, membimbing mereka dengan syari’at dan akhlak yang mulia, agar kelak menjadi pejuang Islam yang berada di garda terdepan dalam memperjuangkan syari’at Islam, bukan malah menjadi korban budaya liberal dan hedonistik yang dihembuskan peradaban barat yang kufur.Kepada para kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Barat, para orator mengingatkan agar mereka hanya menjadikan syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan masyarakat dan mengajak masyarakat Jawa Barat untuk tidak memilih pemimpin yang tidak punya komitmen untuk menerapkan Syari’at Islam secara total dan yang tidak peduli dengan nasib para remaja yang tengah berada di jurang kehancuran.Tidak hanya itu, para pimpinan ormas, ulama, dan orang tua pun diajak agar secara sungguh-sungguh dan serius membina para remaja dengan aqidah yang lurus, membimbing mereka dengan syari’at dan akhlak yang mulia, agar kelak menjadi pejuang Islam yang berada di garda terdepan dalam memperjuangkan syari’at Islam & Khilafah Islamiyah, serta agar terhindar dari cengkraman budaya liberal-hedonistik yang dihembuskan peradaban barat yang kufur.Setelah orasi di depan BIP, peserta pun menuju Masjid Al-Ukhuwah untuk mendengarkan taushiyah dari Ust. Taufik Abdul Karim. Terakhir, do’a sebagai bentuk taqarrub kepada Allah yang dipimpin oleh Ust. Abdul Syukur pun dipanjatkan. (HTI)[Kantor Humas HTI Jabar]